Oleh: Joko Arizal
Alumnus Pascasarjana Fisipol
Univeristas Gadjah Mada
SISTEM kapitalisme yang selama ini dipuja (sadar atau tidak)
berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ternyata memiliki catatan
hitam yang amat mengerikan. Di bawah sistem ini manusia tak ubahnya seperti
benda-benda (reifikasi) yang diperas tenaganya untuk memenuhi keuntungan
pemilik modal. Kapitalisme, yang merupakan bagian dari modernitas, telah
membawa bencana kemanusiaan; secara psikologis, manusia menjadi makhluk mekanik
yang mengalami alienasi. Sedangkan secara ekonomi dan sosial, sistem ini telah
membangun kesenjangan sosial yang semakin akut. Secara global, kapitalisme
telah menyebabkan keterbelakangan di berbagai negara. Keterbelakangan ini bukan
disebabkan oleh teologi, budaya atau mentalitas, tetapi lebih disebabkan oleh
ketidakadilan hubungan antara dunia maju dengan dunia ketiga, yang berwatak
imperialis-eksploitatif dan perilaku tidak adil melalui hubungan dan cara
produksi yang menghisap.
Keberadaan sistem kapitalisme seakan-akan tak bisa dibendung,
malah semakin menggurita dan membentuk budaya konsumerisme. Masyarakat secara
luas sangat mudah terperangkap dalam jaringan itu yang tanpa disadari telah
membunuh dirinya sebagai subjek yang otonom. Bahkan, agama selaku penjunjung
tinggi nilai kemanusiaan, tak berdaya berhadapan dengan sistem kapitalisme yang
dehumanis. Justru sebaliknya, ketika agama menjadi bagian budaya konsumerisme
yang dikendalikan oleh para kapitalis secara tidak langsung dan perlahan telah
meluluhkan agama dari makna liberasi dan emansipasi. Agama lalu kehilangan daya
revolusionernya.
Padahal dalam sejarah umat manusia, kehadiran para Nabi yang
membawa suatu ajaran (agama) sangat revolusioner dalam arti pembebasan. Ibrahim
adalah cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid
melawan berhala-berhala. Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan
otoritarianisme. Isa adalah revolusi ruh atas dominasi materialisme. Muhammad
merupakan teladan bagi kaum tertindas yang berhadapan dengan konglomerat (elit
Quraisy) dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih,
persaudaraan dan egaliter.
Risalah yang diturunkan kepada Muhammad berkaitan dengan
penyeruan tauhid, baik dalam pengertian membebaskan manusia dari penghambaan
selain Tuhan penciptanya, juga penghambaan dalam arti hancurnya solidaritas
sosial (saat itu semangat individualisme muncul sangat kuat akibat serakahnya
manusia dalam menumpuk harta untuk mengukuhkan status quo). Kelompok masyarakat
yang menjadi sasasan utamanya adalah kaum musyrikin, terutama elit dan pedagang
Quraisy. Masyarakat Makkah dalam wujud teologis adalah penyembah berhala, dan
dalam wujud sosialnya merupakan bangunan masyarakat yang secara ekonomi, sosial
dan politik dalam kendali dan hegemoni elit Quraisy yang eksploitatif.
Pesan-pesan yang dibawa oleh Muhammad adalah untuk membongkar sistem
kepercayaan palsu dan sistem sosial hegemonik Quraisy.
Di sini, misi utama Islam adalah pembebasan. Yaitu membebaskan
manusia dari segala pengekangan, penindasan, ketidakadilan, kepercayaan palsu
dan semua yang menghambat manusia untuk hidup sesuai dengan fitrahnya. Sehingga
secara eksistensial, kehadiran Islam hendak mengembalikan manusia kepada
perannya, khalifah Allah di muka bumi.
Apabila di Makkah misi utama Nabi terkonsentrasi pada pembebasan
(liberasi), maka di Madinah lebih pada pembangunan dan memperkuat solidaritas
sosial yang lebih transenden dan mempertemukan mereka dengan latar belakang
sosial yang berbeda. Di sini, Nabi menyatukan kaum Muhajirin, Anshor, Yahudi,
dan Nashrani dengan sebuah kontrak sosial yang dikenal dengan “Piagam Madinah.”
Menurut Robert N. Bellah, kontrak sosial yang dibentuk oleh Muhammad merupakan
model kontrak modern dan demokratis pertama dalam sejarah umat manusia. Di
bawah kepemimpinan Muhammad, masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke
depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik.
Model Makkah dan Madinah yang terdiri dari konsep pembebasan dan
pembangunan inilah dapat dijadikan salah satu contoh bagaimana Islam menjadi
spirit perubahan sosial. Untuk mencapai perubahan itu diperlukan kesadaran
kolektif mengenai masalah yang dihadapi, dan diharapkan dapat membawa subjek
pada kesadaran akan situasinya. Kesadaran tersebut akan membawa pada
kepercayaan bahwa suatu realitas bisa diubah. Hal ini dikarenakan realitas
sosial merupakan realitas terlibatnya manusia dalam proses sejarah.
Dalam konteks masyarakat modern yang semakin komplek, di mana
agama mulai mengalami kehilangan daya emansipatoris, diperlukan ijtihad
menggali api Islam yang menggugah kesadaran sosial. Untuk itu, suatu gerakan
agama, dalam hal ini Islam, harus berpadu dengan analisa sosial. Analisa sosial
memberikan peta ke mana gerakan tersebut harus direkayasa, sementara itu agama
memberikan semangat ideologis dan komitmen imannya. Dengan cara itu kita bisa
mengharapkan agama sebagai kritik ideologi, sekaligus melibatkan masyarakat
dalam gerakan sosial itu yang selama ini ekslusif dan bersifat elitis, dalam arti
merupakan rekayasa yang dipikirkan oleh seorang intelektual tanpa melibatkan
mereka yang menderita.
Dalam kenyataan sosiologisnya, agama merupakan universal simbolicum yang
paling efektif dalam melegitimasi kepentingan-kepentingan atau relasi kuasa
kelas dominan dalam proses sosial. Praksis agama seperti ini akan menjadi
nyata, manakala kita terlibat dalam aksi sosial. Bentuk aksi sosial itu bisa
bermacam-macam, tergantung dari konteks sosial yang dibutuhkan. Tapi yang
paling penting adalah pengembangan kesadaran (raissing consciousness), yaitu mengusahakan
pertumbuhan kesadaran sosial-keagamaan, supaya aksi-aksi sosial benar-benar
muncul dari keputusan yang idelogis, rasional dan matang.
Penyadaran dibutuhkan dalam pemikiran keagamaan dewasa ini,
karena penyadaran akan membuat seorang individu beragama secara kritis dalam
melihat keterkaitan sosial terhadap apa saja yang terjadi di sekitarnya.
Penyadaran ini akan membantu individu dan masyarakat berkembang dari tahap
kesadaran konformis dan reformis menuju pada kesadaran kritis-transformis.
Dalam usaha ini, perspektif transformatif akan memberikan dorongan
psikologis-religiusnya. Agama adalah the
inner dimention of man yang paling hakiki dan paling berperan
dalam memotivasi bagaimana manusia harus hidup dan bertindak, termasuk
bentuk-bentuk kerangka orientasinya dan objek pengabdiannya.
Islam tidak membenarkan pemeluknya pasif dan apatis, sementara
orang lain teraniaya. Orang-orang yang tidak berjuang untuk membebaskan orang
yang lemah dan tertindas, tidak bisa mengaku benar-benar beriman dan hanya
beriman secara verbal. Umat Islam mesti benar-benar menyadari bahwa cita-cita
Islam adalah terwujudnya ummah
al wahidah (sebuah tatanan masyarakat yang terintegrasi, utuh
dan terpadu), ummah al
washatan (masyarakat penengah, moderat dan adil) dan khair al ummah (masyarakat
yang unggul). Inilah pemikiran keagamaan yang berusaha memberi jawaban dan
komitmen keagamaan atas situasi dehumanisasi dari dunia modern-kapitalistik.
Dari cita-cita luhur ini, jelaslah bahwa Islam tidak hanya
mementingkan pengembangan spiritual dan moral pada level individu, tetapi
kesadaran eksistensial yang turut-serta berperan dalam pembangunan masyarakat.
Untuk menjadikan Islam sebagai amunisi perubahan sosial, mesti dilakukan
pengubahan paradigma. Moeslim Abdurrahman, misalnya, memaknai Islam yang paling
murni bukan terletak pada rumusan teologisnya (apalagi yang telah dibakukan
oleh ulama), justru muncul dalam pergulatan sehari-hari para umatnya untuk
menegakkan cita-cita keadilan. Islam adalah ruh kemanusian yang paling sejati
yang menuntun peradaban, terutama dalam pemerdekaan dan pembebasan (liberation), baik bagi
kesadaran orang per orang maupun secara kolektif, untuk mewujudkan keadaban (amar bi al ma’ruf) dan
peradaban dalam arti menghidupkan cita-cita kemanusiaan yang merdeka, bebas dan
terhormat (nahy munkar).
Kebenaran yang berlandaskan pemerdekaan bukanlah terletak pada
kemampuan bagaimana hebatnya wacana dan nalar yang dirumuskan. Justru kriteria
dasar untuk melihat apakah makna Islam telah menggerakkan emansipasi
kemanusiaan haruslah dilihat dari proses empiris yang sedang berlangsung.
Dengan demikian Islam menjadi gagasan sejarah yang bergerak, dan bukan sekedar
memperkaya khazanah intelektual yang mengambang, tidak jelas memihak dan
melakukan penghadangan terhadap proses dehumanisasi dan marginalisasi sosial.
Moeslim ingin mencari moda interpretasi orto-praksis, bagaimana
mempertautkan (bahkan mengkonfrontasikan) hubungan antara iman dengan realitas
perubahan sosial. Karena tujuan risalah
Islamiyah adalah bagaimana ide agama dalam pergulatan hidup secara
kolektif berperan dalam menegakkan tatanan sosial yang adil, sebagai cita-cita
ketakwaan. Moeslim mengupayakan bagaimana mengaitkan Islam sebagai ideologi
perubahan yang menggugah kesadaran emansipatoris, terutama yang bersifat
struktural dan bukan Islam sebagai kegiatan dakwah yang terlalu mengutamakan
kesalehan ritual. Baginya, Islam merupakan agama yang prinsip-prinsipnya tidak
hanya didasarkan pada ritual atau spiritual spekulatif, tapi yang paling
fundamental ialah menjaga agar nilai-nilai kemanusiaan tidak dimanipulasi atau
secara moral diselewengkan oleh sejarah.***
*Tulisan ini diterbitkan pertama kali di indoprogress.com
KEUNTUNGAN BERLIMPAH DAN MUDAH DI MAINKAN!
BalasHapusDapatkan Bonus 7x Win Beruntun Hingga 5jt
Memberikan Permainan Paling Seru dengan Tingkat Kemenangan yang tinggi.
Layanan Website 24jam setiap hari.
INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
WHATSAPP :+62 822-7710-4607