Oleh: Nabhan Aiqani
Pegiat Literasi di Kerinci Institute
Kita kini hidup dalam masa genius ilmiah dan
teknologi, tapi untuk pendidikan spiritual, kita jauh tertinggal dibanding
orang-orang bijak zaman Aksial. Kepada merekalah kita mesti berguru
(Karen Armstrong, 2006).
Dapat dikatakan,
pemahaman tentang zaman aksial belumlah terlalu umum ditengah pemahaman
masyarakat secara keseluruhan. Sehingga untuk mengawali, perlu pemaparan
singkat mengenainya.
Zaman aksial
adalah zaman yang memiliki rentang antara tahun 900-200 SM. Pada zaman ini,
sendi-sendi dan dasar keagamaan mulai dicari untuk kemudian disusun menjadi
satu aliran keagamaan murni. Kata aksial sendiri, memiliki akar kata “axios”
yang berarti nilai. Dapat juga diartikan zaman aksial adalah zaman dimana
munculnya banyak nilai-nilai dan pemahaman keagamaan yang sifatnya mencari
tujuan dari hidup ini, utamanya dalam hal hubungan secara trasenden (ilahiah).
Ada begitu banyak tokoh adiduniawi yang muncul memenuhi rongga-rongga kehidupan
rohaniah manusia di zamannya yang bahkan memiliki pengaruh sampai saat ini.
Harus diakui
manusia-manusia bijak pada zaman aksial, memiliki pengetahuan akan dunia yang
lebih mendalam dibanding manusia pada zaman ini. Mereka mempertanyakan
persoalan fisik dan metafisik yang terjadi, sampai hal-hal terkecil tentang
kehidupan manusia pun dipertanyakan.
Nah..Sedikit
pengantar singkat diatas dimaksudkan sebagai pengayaan
khazanah pengetahuan bagi kita semua. Arah tulisan ini nantinya
akan banyak membahas bagaimana tokoh-tokoh zaman aksial mampu menjadi manusia
yang tidak egoistis, memandang segala persoalan secara positif dan terbuka, menanamkan
nilai-nilai kearifan dengan sedapat mungkin menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan tercela maupun amoral. Segala sesuatu dipikirkan dengan
tenang dan bijaksana, tidak mengedepankan ego dan nafsu pribadi semata.
Menjadi
suatu hal yang terbalik bila kita refleksikan pada kondisi kontemporer. Satu
hal yang patut kita unggulkan, karena secara penguasaan sains dan teknologi
kita jauh lebih maju dari manusia zaman aksial, tapi secara pemahaman akan
nilai-nilai dasar kehidupan kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka.
Kesederhanaan dan kebijaksanaan hidup menjadi perbincangan yang memenuhi
ruang-ruang diskusi di kalangan masyarakat pada zaman aksial itu.
Bagaimana
tidak? buktinya ada banyak manusia genius di zaman ini,
namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai manusia yang
berpengetahuan. Maraknya
terjadi kasus-kasus asusila dan tindak kejahatan yang menimpa manusia sekarang ini menunjukkan
keringnya pemahaman akan hal-hal yang bersifat rohaniah. Kita telah jauh
meninggalkan prinsip kebajikan dan kepedulian terhadap sesama,
ujung-ujungnya terjebak dalam lorong
kehidupan tanpa makna.
Tak berlebihan bila cerita tentang
Diogenes (seorang filosof miskin beraliran sinisme, yang kemana-mana hanya
dengan sebuah tong besar) diungkap kembali. Ketika ia ditanyai oleh Kaisar
Aleksander Agung, “apa yang kau inginkan, Diogenes? apapun akan aku berikan
padamu” ujar Aleksander menawarkan. Dia menjawab dengan jawaban yang tak
terduga, “ aku hanya meminta satu hal padamu, Alek, tolong anda berdiri
menyingkir agar sinar matahari bisa mengenai tubuhku.” Begitu luhur budi
seorang di zaman itu, karena memandang apa yang telah ia miliki sudah cukup dan
mampu untuk memberikan kebahagian kecil dalam hidupnya. Ia bahkan tidak meminta materi, sinar matahari yang
terhalangi oleh tubuh Kaisar Aleksander sudah cukup baginya.
Sangat Ironis,
bila dibanding dengan “dagelan politik” perebutan kekuasaan yang tak kunjung
akhir, sampai menggunakan cara-cara keji agar kepentingannya dapat tercapai,
tidak peduli apakah itu bersesuaian atau tidak dengan etika dan moral. Aturan
hukum hanya dipandang sebagai kata-kata indah, yang tidak akan mampu
menjamahnya.
Kalau pun boleh
berandai, mereka juga perlu hidup dan belajar lagi dari cerita China
prasejarah, yang menampilkan sosok bijak Yao dan Shun. Yao merupakan seorang
raja yang memimpin dengan arif dan bijaksana, menyandarkan kepemimpinannya pada
prinsip-prinsip kebajikan. Menariknya di akhir kekuasaan, ia tidak mewariskan
kekuasaan pada anaknya sendiri. Yang menurutnya, dia tidak akan mampu memimpin
dengan mengedepankan budi luhur nan agung. Sosok Shun yang diluar dugaan muncul
meneruskan suksesi Yao.
Shun hanyalah
seorang petani miskin biasa, bahkan
ia tidak pernah
bermimpi apalagi menduga bisa menduduki jabatan ini.
Jatuhnya pilihan kepada Shun, dikarenakan Yao
merupakan seorang pemimpin yang memiliki sifat adi
luhung dan tidak terlalu mencintai dunia
(zuhud).
Adalah hal yang
langka di temui di zaman ini, dimana elit-elit kekuasaan akan menjatuhkan
pilihan pada orang-orang yang benar-benar
mampu dan memiliki empati medalam akan
kepedulian untuk menyejahterakan rakyat. Setidaknya fakta itu bisa
dilihat ketika massifnya dinasti politik (oligarki) disana-sini. Apabila
kondisi demikian yang tercipta, tendensi kekuasaan akan mengarah pada
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Seirama dengan adagium hukum dari
Lord Acton (1834-1902), Power tends to
corrupt and Absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung disalah
gunakan dan kekuasaan absolut pasti disalah gunakan).
Apa yang terjadi
kini, harus disadari merupakan kelalaian kita dalam
memahami pentingnya hakikat hidup. Prinsip-prinsip kebajikan bukan menjadi
tren, hal-hal yang baik dipandang lucu dan terabaikan. Mana mungkin di zaman
ini ada pemimpin, layaknya Umar bin Khattab yang mau turun dari satu rumah ke
rumah, berjalan malam hanya untuk memastikan kondisi masyarakatnya dalam
keadaan baik dan berkecukupan. Hingga ia menyesali dirinya sendiri, karena ada
satu keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makan anaknya.
Demikan juga
dengan dengan nilai-nilai ahimsa
(tanpa kekerasan) yang dijalankan dalam budaya hindu. Pun dengan, para
penyangkal dunia di zaman India kuno, yang rela meninggalkan kenikmatan dunia,
hanya demi mencari hakikat kehidupan (athman).
Inilah yang alfa
dalam kehidupan manusia yang serba ada saat ini. Manusia modern kini hidup
bergelimangan kemewahan. Tidak ada yang peduli dengan kondisi sosial yang ada
disekitarnya. Mata hati mereka telah dilenakan dan dibutakan.
Akhirnya, mau
tidak mau kita harus belajar dan menyadari tindakan-tindakan amoral yang marak
terjadi dengan atau tanpa disadari,
justru akan mengarahkan kehidupan menuju kehampaan hidup. Hidup tanpa memiliki
nilai, makna akan hidup telah dipandang sempit, terbatas pada kepentingan
peribadi. Kata “Aku” harus bisa seminimal mungkin direduksi, karena sejatinya
kata orang-orang zaman aksial, saat seseorang mampu mengendalikan egonya,
disaat itulah dia menjadi manusia seutuhnya.
KEUNTUNGAN BERLIMPAH DAN MUDAH DI MAINKAN!
BalasHapusDapatkan Bonus 7x Win Beruntun Hingga 5jt
Memberikan Permainan Paling Seru dengan Tingkat Kemenangan yang tinggi.
Layanan Website 24jam setiap hari.
INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
WHATSAPP :+62 822-7710-4607