Oleh: Uun Lionar*
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP Kementerian Keuangan RI)
Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP Kementerian Keuangan RI)
“Aksara Incung adalah
jenis aksara kuno asli milik masyarakat Kerinci, Jambi”, ungkap Uli Kozok
(2006), ilmuan Filologi Universitas Hawai dalam karya fenomenalnya Kitab
Undang Undang Tanjung Tanah (naskah Melayu yang tertua). Dalam artikel itu,
Kozok dengan tegas menjelaskan bahwa aksara Incung telah
berkembang di dataran tinggi Jambi atau wilayah yang disebut sebagai Ulu (dataran
tinggi) sebelum Islam masuk ke wilayah ini. Menariknya, ia juga memaparkan
perbedaan aksara Incung dengan beberapa aksara kuno yang
berkembang di wilayah Sumatera bagian Selatan, seperti aksara Rencong di
Rejang Lebong, dan aksara Lampung. Selain itu, Kozok juga
menitipkan pertanyaan mengapa daerah Minangkabau tidak memiliki aksara kuno
tersebut?.
Menyoroti keberadaan
aksara Incung atau yang juga disebut Incung Kerinci akan
membawa kita untuk membayangkan bagaimana peradaban nenek moyang zaman dahulu
telah membangun simbol-simbol identitas kolektif, yakni identitas sebagai
sebuah etnisitas yang mendiami dataran tinggi Jambi, simbol tersebut juga
merepresentasikan wujud dari local jenius yang dimiliki oleh
komunitas masyarakat Suku Kerinci. Atas local jenius itu sudah
sewajarnya generasi saat ini menempatkan penghargaan dari capaian masa lalu
dalam bentuk usaha melestarikan aksara Incung tersebut dengan
mempelajari dan mewariskannya agar tidak punah termakan usia.
Adalah Voorhoeve
seorang Taalambtenar (pegawai bahasa Hindia Belanda) untuk
wilayah Sumatra di tahun 1941 telah mengalihaksarakan teks-teks kuno
bertuliskan aksara Incung yang disimpan oleh banyak ke-depati-an
di Kerinci. Voorhoeve menyebutkan bahwa aksara Incungbanyak
tertulis di tanduk kerbau, tulang, kulit kayu, dan bambu. Selain aksara Incung,
ia juga menemukan aksara Melayu dan Jawa Kuno yang
kebanyakan ditulis di atas daun lontar dan kertas lama (daluang). Berbeda
dengan aksara Incung yang banyak menerangkan tentang silsilah
turunan dan ratapan seseorang, teks aksara Melayu dan Jawa
Kuno berisikan tentang banyak perjanjian antar ke-depati-an di
Kerinci serta surat dari Kerajaan Jambi dan Inderapura, mengingat Kerinci
pernah berhubungan dengan dua kerajaan ini.
Pendidikan dan
Pewarisan
Beberapa tahun
belakangan ini telah muncul banyak komunitas pemerhati dan pecinta aksara Incung, geliat
ini ditunjukkan dengan adanya usaha serius dari komunitas Sekolah Incung yang
baru-baru ini mengadakan pelatihan bagi anak muda untuk belajar mengenal dan
membaca aksara Incung. Usaha tersebut patut diberikan apresiasi
bagi para penggeraknya, mengingat di arus globalisasi yang pada
kecenderungannya mengalihkan pandangan untuk mengabaikan warisan lokal,
ternyata masih ada anak muda yang berupaya mengenalkan warisan leluhur
tersebut. Akan tetapi usaha yang telah diawali seketika tidak menunjukkan
kemajuan, bahkan mengalami stagnasi hingga kini, hal ini sudah barang tentu
menunjukkan kendala-kendala teknis atas pelaksanaannya yang berkenaan dengan
dukungan moril dan material yang kurang memadai.
Jika dikritisi lebih
dalam pada hakikatnya aksara Incung sebagai cagar budaya non-benda
seharusnya dikelola oleh pemerintah dengan segala macam upaya strategis, namun
hingga saat ini tidak begitu nampak usaha yang serius dilakukan oleh instansi
terkait -Dinas Pariwisata- untuk mengusahakan “membumikan” aksara Incung tersebut,
terutama di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Alih-alih sebagai gerakan
peduli Incung, selama ini upaya yang baru dilakukan pemerintah
daerah sebatas pada menyertakan tulisan Incung pada nama-nama
jalan dan nama instansi di Kota Sungai Penuh. Langkah-langkah strategis yang
bersentuhan dengan dunia pendidikan baru sebatas wacana yang hingga saat ini
belum ada realisasi yang jelas, oleh sebab itu penting kirannya aksara Incung dimasukkan
dalam materi pembelajaran terutama pada mata pelajaran yang berkaitan dengan
muatan lokal dan sejarah.
Menanti Gerakan
Diamond dalam The
World until Yesterday (2017) telah melakukan penelitian di berbagai
pelosok dunia untuk mengamati warisan leluhur komunitas masyarakat tradisional,
hingga ia berkesimpulan penting bagi masyarakat modern kembali mempelajari
warisan leluhur mereka, karena akan memperkuat identitas dan jati diri mereka
sebagai entitas lokal. Saat ini keberadaan aksara Incung hanya
tampak pada ukiran batik khas Kerinci, selebihnya diusahakan secara mandiri
oleh mereka yang masih peduli akan eksistensi aksara tersebut, seperti
budayawan dan seniman asal Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Sebagai pemangku
kebijakan, pemerintah daerah sudah seharusnya merumuskan langkah strategis
untuk pelestarian aksara Incung tersebut, mengingat di arus
globalisasi ini warisan lokal semakin terabaikan atas dominasi pengaruh budaya
modern yang datang dari luar, sehingga hal tersebut sedikit banyak telah
memudarkan identitas kelokalan sebagai jati diri Suku Kerinci.
Langkah strategis
dapat berupa memberdayakan komunitas pemerhati Incung sebagai stake holder dengan memberikan perhatian berupa dukungan fasilitas dan
anggaran. Selain itu, langkah strategis yang lebih penting adalah menyertakan
aksara Incung dalam pendidikan formal di sekolah-sekolah,
mengingat Kurikulum 2013 dengan orientasi desentralisasi pendidikan telah memberikan
peluang untuk pengembangan konten lokal.
Saat ini amat dinanti
gerakan pemerintah dalam usaha-usaha tersebut, karena selama ini pada
kenyataannya orientasi yang ditunjukkan oleh pemerintah baru pada pembangunan
fisik (infrastruktur) dalam rangka melegalkan keberadaan mereka sebagai pelayan
publik, tetapi belum menyentuh hal lain yang berkenaan dengan pelestarian nilai
budaya. Dengan keseimbangan pembangunan antara fisik dan non-fisik
(termasuk pelestarian aksara Incung) akan meneguhkan keberadaan pemerintah
sebagai pemelihara warisan budaya. Semoga. (***)
Mantap
BalasHapus