Oleh: Nabhan Aiqani
Uhang Kinci Sejak Dalam Pikiran
Uhang Kinci Sejak Dalam Pikiran
Kerinci
adalah sebuah frasa yang menguntai banyak makna. Mengapa frasa ? sebab kerinci
bukanlah sekadar kata, apalagi bila hanya dinisbatkan pada nama suatu daerah
saja. Kerinci adalah frasa yang memiliki jiwa, mengalir bak gemercik air telun
berasap, dan tenang seumpama lempungan gunung tujuh dengan serinai ombak kecil
danaunya. Tidak banyak yang tahu, satu atau dua mungkin pernah sesekali
mendengar nama kerinci tercatut dalam liputan media. Pesona budaya dan kearifan
lokal yang begitu terjaga menambah lengkap frasa kerinci ini.
Prolog
ini sengaja didedahkan untuk mengantarkan pembaca agar sejenak merenung dan
mengurai mozaik keindahan alam kerinci yang terpatri dalam ingatan.
Dahulu
pernah dalam sejarahnya entah legenda ataupun mitologi yang berkembang dalam
masyarakat berdiri kerajaan yang bernama Koying. Sedikit sekali informasi yang
tersedia, penulis pun sempat membaca sekilas dan itu pun tidak dapat
dipertanggungjawabkan validasi kebenaran ilmiahnya. Selain belum pernah di
ungkap, dan diteliti secara serius, namun sepatutnya sejarah kerinci mesti
diurai dengan sedemikian rupa, agar menjadi bukti tertulis sebagai rujukan
sejarah tunggal akan kemasyhuran kerinci.
Kalau
boleh membandingkan, kita punya Ir. Soekarno dengan kebanggaan sejarah
Majapahit dan Sriwijaya-nya, begitupun masyarakat di kamboja yang pada abad ke
12 telah mendirikan candi Angkor wat, candi terindah pada masanya- yang
orang-orang di barat pada masa itu mungkin belum sampai pada kemajuan peradaban
yang setara dengan itu. Para tokoh-tokoh fasisme (dalam artian positif) yang
berpikir ultra-nasionalis,seperti Mussolini pun juga di Italia meski dicap
diktator namun cita-cita membangkitkan
kejayaan imperium Romawi menjadi inspirasi dalam kepemimpinannya. Sekali lagi
dalam artian positif.
Itu
yang coba untuk diwujudkan dalam masyarakat kerinci, dimana nilai-nilai akan
kebudayaan luhur yang tertanam di bumi kerinci, mesti digali agar menjadi
identitas sosial menuju kemajuan disemua lini kehidupan masyarakat kerinci. Kembali
penulis mengutip soekarno untuk semakin mempertegas gagasan ini, “Pancasila
lahir dari tanah Indonesia, digali dari sejarah panjang ribuan tahun kemajuan
peradaban Indonesia”. Maksudnya Pancasila secara hakikat telah ada dan berdiam
di bumi Indonesia, namun tugas kita lah yang kemudian untuk menggalinya, demi
menyebarkan rasa nasionalisme kepada bangsa yang baru merdeka.
Oleh
karenanya, berkaca dari pemimpin dan pemikir bangsa diatas, tentu sebagai
masyarakat kerinci. Tidak boleh hanya berpangku tangan dan berdiam diri dengan
berbagai penyakit bangsa dan moralitas yang merebak bermekaran layaknya jamur
di musim hujan.
Tugas
dan pengabdian sosial mesti dijalankan. Kemajuan peradaban dimasa kini, perlu
di ulas dari akar historisnya. Identitas dan keluhuran budaya berakar dari
sana. Maka untuk itu, generasi muda yang telah dicerahkan dalam bangku akademik
dan di sematkan label intelektual, harus bekerja nyata mengorbankan diri dan
pemikiran untuk larut dalam cita-cita kemajuan.
Tidak
ada yang tidak mungkin bila generasi muda telah sadar akan persoalan kebudayaan
yang malah tidak memanusiakan manusia (dehumanisasi). Memang realita yang
dijumpai dalam dinamika sosial budaya masyarakat kerinci harus diakui secara
bijak dan jujur sangat jauh dari kerja kolektif untuk membangun kemajuan
bersama. Semua larut untuk memenuhi libido
kekuasaaan dan kepentingan yang tak mengenal kata manusiawi. Bobroknya
sistem birokrasi dan pemerintahan daerah menemukan tempat yang tepat ditengah
kehidupan masyarakat yang dijangkiti kebudayaan konsumtif dan kapitalis.
Tidak
apa bila penulis dikatakan terlalu berlebihan atau malah disebut mengada-ada,
tohh, cita-cita kemerdekaan pada pendiri bangsa dahulunya apakah tidak bisa
dikatakan mengada-ada dengan kondisi masyarakat yang terjajah secara penuh
fisik, mental dan kebudayaannya. Kalau bukan dari mereka yang dikatakan
golongan intelektual , apakah cita-cita kemerdekaan dapat kita raih.
Kembali
pada persoalan karut-marut dan degradasi moral serta identitas secara empiris
dalam kehidupan sosial masyrakat kerinci. Penulis teringat sebuah adagium yang
masih berhubungan dengan konteks ini, “setiap masa ada pemimpinnya, dan setiap
pemimpin ada masanya”. Sepintas lalu dimaknai, dapat dijumpai ada sebuah
harapan disetiap generasi. Dan boleh jadi, penulis simplikasikan masa sekarang
ini adalah masa bagi mahasiswa, komunitas intelektual yang menjadi penjaga
nilai-nilai (guardian of value).
Hakikat sebagai mahasiswa mesti di bangkitkan kembali. Mahasiswa mesti mengenal
hukum dan bersentuhan dengan politik bukan dalam artian banalitas politik (Politik
yang tidak bermoral), layaknya dagelan politik
yang sering dipertontonkan.
Bertolt
Brecht penyair Jerman bisa di pinjam kutipannya untuk menjelaskan hal ini,
“Buta yang paling buruk adalah buta politik, dia tidak mendengar dan berbicara
dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya
kebutuhan hidup semua tergantung pada politik. Orang yang buta politik begitu
bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya bahwa ia membenci politik..”.
Kurang lebih dengan merenungkan ungkapan itu sebagai mahasiswa rasa
kemanusiaan, kepedulian sosial, kerja bersama untuk kemajuan kehidupan
masyarakat akan dapat terasah(sense of
human being).
Dapat
dikatakan, walaupun terkesan frontal dan
beringas, pesan ini jelas, tersurat
ajakan dan persuasi kepada kawan mahasiswa, terutama berlatar belakang Kerinci
dan mencintai kerinci lebih dari sekadar frasa dan kata-kata. Sebab ada keyakinan
yang tertanam, bahwasanya diluar sana masih banyak kawan-kawan mahasiswa yang
peduli dan begitu berapi-api ingin mengabdi dalam kerja-kerja sosial dan
kolektif di kerinci.
Untuk
itu, apa yang dapat kita lakukan adalah dengan terus menebarkan semangat dan
inspirasi ke seluruh pelosok kerinci. Pendidikan yang kita beroleh sejatinya
adalah alat untuk pembebasan. Mengisi hari-hari untuk tetap membaur dan
memberikan kontribusi kecil kepada masyarakat harus dimulai.
Mahasiswa
mesti menghimpun diri untuk merebut dan mengisi ruang publik dengan ide-ide kritis,
kreatif dan solutif. Diskusi, bedah buku, menggalakkan dunia literasi, serta
terjun langsung (live in) kepada
masyarakat adalah cara-cara yang mesti ditempuh. Dengan demikian, kemajuan
keadaban dan identitas luhur akan mampu kita bangkitkan kembali, untuk kemudian
menyingkirkan budaya-budaya konsumtif, individualis dan kapitalis yang kadung
membumi di tanah Kerinci.
Menutup
tulisan ini, penulis ingin menyudahi dengan sebuah ungkapan bernas perihal
mahasiswa dan pengabdian sosial dalam masyarakat, “Mahasiswa kau ingin jadi
apa? Pengacara untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak
adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan
sehat, udara yang baik dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin?
Arsitek, untuk membangun rumah yang nyaman bagi tuan tanah? Lihatlah
disekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu
adalah sangat berbeda: untuk membaur bersama mereka yang miskin dan tertindas,
dan bekerja untuk menyingkirkan sistem yang tidak beradab.”
0 komentar: