Membumikan Literasi di Bumi Sakti

Oleh: Alek Kaka* Matahari mulai enyah dari ufuk timur. Sedang Mikel belum juga tidur. Banyak hal berputar-putar dipikirannya: Teti ...

Nasi Uduk dan Jiwa Nasionalisme


Oleh: Alek Kaka*

Matahari mulai enyah dari ufuk timur. Sedang Mikel belum juga tidur. Banyak hal berputar-putar dipikirannya: Teti (pacarnya), skripsi, judi bola, serta pidato seorang tokoh pemuda di kampungnya yang tengah berusaha membangkitkan jiwa nasionalisme anak-anak muda Indonesia.

Rekaman pidato itu didapati Mikel dari sebuah layanan jejaring sosial yang berkantor pusat di Menlo Park, California, Amerika Serikat. Konon, pidato yang viral itu dibuat dalam rangka memperingati hari pahlawan. Waktu Mikel mengunduhnya, tertera view sudah 16K.

Tapi, di rumah kosan yang terdampar di Kelurahan Gunung Pangilun, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat itu, Mikel tetaplah Mikel, yang jiwa nasionalismenya susah bangkit.

“Apa perlu kutelpon Teti, Kel? Untuk membuat jiwa nasionalismemu bangkit lagi.” Kata saya pada Mikel.

“Tidak perlu Lek, aku tidak ingin mengganggunya.” jawab Mikel.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke luar, mencari sesuatu yang bisa di makan. Jam di telepon genggam menunjukkan pukul 06.00.

Kami sengaja tidak bawa motor. Udara pagi terlalu sayang bila diterban asap kendaraan. Dan lagi pula, seperti kata seorang penyair, adakah yang lebih puitis dari gesekan sandal ke aspal oleh laki-laki mencari sarapan pagi?

Namun jam segini, di Gunung Pangilun, bukan perkara mudah mencari warung makan yang buka. Untung ada satu yang nampak, dan jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kosan Mikel, yaitu penjual nasi uduk. Tidak ada pilihan lain.

Penjual nasi uduk itu namanya Supratman, dan satu lagi Marsaid. Yang satu dari Solo, yang satu lagi dari Cilacap. Mikel dari Dharmasraya dan Saya dari Maluku Timur. Supratman dan Marsaid merantau dari daerahnya untuk mengadu nasib dengan menjual nasi uduk. Mikel dan Saya merantau pula dari daerah kami masing-masing demi makan nasi uduk Supratman dan Marsaid. Sepertinya, lima puluh ribu tahun yang lalu, Tuhan telah menulis dalam Buku Takdir Manusia bahwa kami akan berjumpa pada suatu pagi di suatu tempat di belahan Sumatera, untuk urusan nasi uduk.

Saya bertanya kepada Mas Supratman, perihal nasi uduk. “Mas, uduk ini apa sih artinya?” tanya saya.

“Uduk itu berasal dari bahasa Sunda, yang artinya bersatu atau bercampur.” sahut Mas Supratman.

“Wahh, makna yang nasionalis sekali, Mas!” jawab saya lagi. “Atau jangan-jangan para pemuda yang ikut Kongres Pemuda puluhan tahun silam, juga doyan Nasi Uduk.”

Si Mas penjual Nasi Uduk menanggapi saya dengan nyengir.

Nasi uduk memang nasi yang dicampur dengan menu lain. Bahan dasarnya nasi putih yang diaron dan dikukus dengan santan dari kelapa yang di parut. Serta dibumbui dengan pala, kayu manis, jahe, daun serai dan merica.

Makanan ini kemudian dihidangkan dengan empin goreng, tahu goreng, telur dadar atau telur goreng yang sudah diiris-iris, abon, kering tempe, bawang goreng, ayam goreng, timun, dan sambal dari kacang.Rasanya gurih dan enak. Penamaannya oleh orang dulu sederhana saja, uduk, tidak serumit orang zaman now menamai makanan.

Saya pernah lihat menu di sebuah restoran yang demi menyebutnya kita mesti mengeluarkan energi yang sama dengan memakannya. Padalah sebernarnya makanan lokal.

Ada namanya Diced Beef Black Soup di menu, ternyata pas dihidang: Rawon. Ada Glutenous Rice, kiranya Lemper. Ada Sunny Side Up Egg, ternyata Telur Ceplok. Ada Indonesian Fried Meal, Consisting of Vegetables and Batter, ehh ternyata Bakwan.

Saya heran saja untuk makanan lokal yang sederhana itu kok di Inggris-Inggris kan segala. Atau barangkali demi menarik perhatian orang luar.

Kenapa tidak mereka saja yang mempelajari bahasa kita? Jadi sebenarnya yang menarik dari suatu makanan itu apakah dari namanya atau rasanya?

Ingin saya tanya ke Mikel, tapi urung saya lakukan. Saya tidak ingin jiwa nasionalisme Mikel makin redup, alih-alih dapat pencerahan. 

*Cerita ini pernah diterbitkan sebelumnya di blog pribadi penulis https://lexo-graphy.blogspot.co.id

6 komentar:

Oleh: Ahmad Hafizd Anggota IKPT SUMBAR (Ikatan Keluarga Besar Pulau Tengah Sumatera Barat) Kerinci dalam sejarah merupakan salah...

Pemuda, Mobile Legend, Puncak Joko Widodo, Politik, Dan Kekayaan Budaya Kerinci


Oleh: Ahmad Hafizd

Anggota IKPT SUMBAR (Ikatan Keluarga Besar Pulau Tengah Sumatera Barat)

Kerinci dalam sejarah merupakan salah satu suku atau perdaban masyarakat tertua didunia. Seperti yang dilansir di situs Wikipedia lebih tua dari Suku Inka di Amerika yang telah hidup puluhan ribu tahun yang lalu – (Sumber : Klik saja di Wikipedia “Suku Kerinci”). Sampai kini masih beranak pinak hingga mencapai keturunan generasi Z atau lebih dikenal generasi ZAMAN NOW, tetapi tidak lagi mengenal bagaimana budaya leluhur mereka yang sudah hidup sejak dahulu kala. Kabupaten Kerinci memiliki 285 Desa dan 2 Kelurahan ditambah satu kota madya Sungai Penuh, namun memiliki bahasa yang tak sama. Bahkan diantara satu desa dengan desa yang lain memiliki dialek yang cukup jauh  berbeda. Kerinci memiliki bahsa yang unik, beberapa masyarakat daerah lain ada yang beranggapan mirip dengan logat bahasa Tiongkok, Thailand, Vietnam, bahkan ada yang mengatakan seperti bahasa India. Namun bahasa yang digunakan pemudanya masih abstrak antara Minang, Kerinci, dan Inggris. Seperti “No!! Aku idak nak pergi sekolah, gurunyo pamberang”.
Kerinci merupakan salah satu daerah yang berada didataran tinggi di pulau sumatera, dikelilingi bukit yang tinggi dan terkenal dengan gunung merapi aktif berketinggian 3.805 mdpl yang katanya akan diganti dengan Gunung Jokowi, memang jokowi punya gunung? Sudah lupakan saja. Daerah Kerinci kaya akan budaya baik dalam bidang seni, tata kehidupan maupun dalam sosial ekonomi. Namun pada saat ini sangat sedikit sekali yang mengetahui perihal kebudayaan. entah karena masuknya Break Dance sehingga tari Rantak kudo dilupakan. Atau karena budaya Kuliner barat Spageti sehingga cabe uwok ditinggalkan. Namun dilupakan seutuhnya tidak pula, saat salah satu media sosial hiburan masyarak kerinci di akun Instagram @Kerinci Melawak melansir video Bapak presiden Jokowi menari yang diiringi musik Rentak kudo memiliki cukup banyak respon, dilihat dari komentar Viewers akun Instagram tersebut.
Berbicara Local Wisdom, Semua itu tergantung bagaimana generasi selanjutnya mempertahankan budaya ini. Tentunya ini PR besar bagi pemuda kerinci yang sedang menempuh pendidikan diluar daerah maupun yang di dalam Kabupaten kerinci itu sendiri. Mereka aktif berorganisasi, menghidupkan budaya literasi, kursus bahasa inggris atau hanya terlena bermain ML, entah ML yang Mobile Legend atau ML yang satu lagi. Semoga ini bukan menjadi kebiasaan buruk masyarakat kerinci  yang memiliki begitu banyak tugas yang harus diselesaikan.
Harus adanya wadah yang memang fokus terhadap perbaikan kabupaten kerinci, tidak hanya terbawa arus politik yang memang sangat menggoda. Persatuan seluruh masyarakat yang didorong oleh pemuda dari Kerinci Mudik hingga Kerinci hilir harus segera direalisasikan. Banyak sekali tugas yang harus diselesaikan, bagaimana Anggaran desa dialirkan? Bagaimana realisasi janji politik  Bupati? Kemana arus dana pemerintah mengalir? Itu semua belum diawasi secara ketat, atau mungkin sudah disogok, bisa jadi kebanyakan yang kuliah hanya anak pejabat saja, Allahu’alam bisawab. Kasus Sekertaris daerah Provinsi beserta tiga rekanya di DPRD terpergok oleh KPK beberapa waktu silam yang juga menyeret Gubernur tampan Bapak Zxxx Zxxx Zxxxxxxx kita cukup menjadi tamparan keras bagi kita masyarakat kerinci. Jangan sampai ini terjadi di daerah tercinta kita Bumi Sakti Alam Kerinci. Selaras dengan akan diadakannya pemilihan tampuk kepemimpinan baru yang calonya masih Fresh , muda dan mungkin lebih tampan dari Gubernur kita, itu semua tidak menjamin akan berjalan baik-baik saja. Mereka bukan malaikat, tetap perlu adanya pengawasan yang Efektif dan penuh strategi meskipun sedikit berkorban. “Untuk gadih kito bae mbauh nyo berkorban, masak iyo untuk masyarakat Kerinci nyo ndak.”

Oleh sebab itu mari kita segenap masyarakat kerinci kembali bersatu, menghidupkan budaya Gotong Royong, Stop tawuran, Sudahlah jangan ribut hanya gara-gara knalpot motor atau berebut pacar yang sudah jelas dilarang Agma, No anarchist but Peace, belajar menghilangkan budaya hedonisme kedaerahan. Banyak sekali hal yang harus kita perbaiki, Dodol kentang kita belum terjual hingga Eropa, belum ada pemain bola TIMNAS dari Kabupaten kita, jalan raya kita masih banyak lobang tikusnya, Cabe Uwok kita belum teriklankan di stasuin tv nasional NET.TV masak iya kalah sama Saos Sambal ABC. Saya harap itu menjadi mimpi dan harapan yang harus bisa kita realisasikan. Bukan hanya canda tawa belaka. Kita kembangkan potensi daerah kita yang melimpah. Salam satu kerinci. Pesan terakhir saya semoga PILKADA 2018 bisa berjalan lancar, Demokrasi damai rakyat bahagia.

1 komentar:

Oleh: Legi Okta Putra (Alumnus Ilmu Peternakan Universitas Andalas) Usaha peternakan merupakan bidang yang memiliki peluang bisni...

Masa Depan Usaha Peternakan Di Kerinci


Oleh: Legi Okta Putra
(Alumnus Ilmu Peternakan Universitas Andalas)

Usaha peternakan merupakan bidang yang memiliki peluang bisnis besar diKerinci. Tak boleh dikesampingkan untuk perencanaan pembangunan peternakan di dalam pilkada saat ini. Sebab, pertama, masyarakat Kerinci adalah konsumen yang tinggi dibidang peternakan, sehingga perlu menjadi pertimbangan bagi calon kepala daerah untuk membuat suatu trobosan utama dalam bidang peternakan demi mewujudkan swasembada peteranakan didaerah Kerinci. Kedua Kerinci memiliki flasma nutfah yaitu itik Kerinci yang perlu dikembangkan dengan baik.

Selama ini, daerah tetangga sangat dimanjakan oleh sifat konsumtif dari masyarakat Kerinci yang tidak berkeinginan menjadi pengusaha. Usaha peternakan yang ada di Kerinci masih bisa dihitung dengan jari, tetapi diluar itu ada yang memiliki peternakan tetapi tidak dalam sekala bisnis atau hanya sebatas tabungan semata. Masyarakat Kerinci yang selama ini diketahui sangat mengidolakan sebagai pegawai menjadi ladang empuk bagi pengusaha dari luar daerah untuk memasok produk peternakan di Kerinci.

Secara kasat mata, hal ini dilihat sebagai permasalahan yang tidak terlalu besar. Tetapi, jika di lihat secara kemandirian suatu daerah maka ini adalah permasalahan yang perlu diatasi melalui paket kebijakan. Semakin banyak peternakan dari luar yang masuk, menyebabkan motivasi masyarakat untuk beternak menjadi berkurang. Karena masyarakat hanya merasa produknya tidak begitu berharga lagi, akibat produk luar yang murah. Tetapi, jika masyarakat bisa melihat lokasi dan bentuk peternakan yang maju diKerinci sehingga menjadi keinginan besar untuk beternak karena keuntungan bisnis di bidang peternakan besar.

Hal tersebut perlu diperhatikan oleh calon pemimpin di Kerinci, supaya dapat memperhatikan dunia peternakan. Agar pasar yang terbuka lebar di Kerinci dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kerinci itu sendiri, bukan dari daerah tetangga. Kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan nanti akan berpengaruh terhadap itu semua dan khusunya untuk kesejahteraan masyarakat Kerinci.

Sebelum-sebelumnya bidang peternakan tak menjadi program utama dipanggung pilkada. Peternakan dikesampingkan dalam pembangunan kedepan padahal pengaruhnya untuk kesejahteraan masyarakat sangat dibutuhkan. Program peternakan berasal dari pusat sangat banyak, tinggal pemernintah daerah menjalankan dengan tambahan program kreatif sesuai kondisi yang terjadi di masyarakat.

Baliho tentang peternakan, yang baru pertama kali saya lihat di Kerinci. Satu sisi baliho tersebut mengkampanyekan tentang dunia peternakan bagi masyarakat Kerinci yang selama ini kurang dalam pencerdasan di dunia peternakan. Disisi lain itu adalah pencitraan, karena program yang dikampanyekan adalah program pemerintah pusat dan belum ada progam kreatif dari pimpinan Kerinci untuk mendukung program tersebut.

Kita tidak bisa selalu menjadi konsumen dalam bidang peternakan dengan mendatangkan produk peternakan dari daerah tetangga. Seharusnya pemerintah bisa memperhatikan dan bergerak di bidang peternakan dengan serius. Mulai dari pemerintah yang menjaga peternak sekarang ini untuk menjadi sejahtera. Mulai dari pilkada tahun inilah kita ingin melihat calon kepala daerah untuk memperhatikan dengan serius dunia peternakan dan membuat program utama di bidang peternakan.

1 komentar:

Oleh: Hafiful Hadi Sunliensyar (Pemerhati Sejarah dan Budaya Kerinci) Siapa yang tak kenal Gunung Kerinci? Gunung berapi tertinggi di...

Menyikapi Klaim Kepemilikan Sumbar dan Jambi atas Gunung Kerinci


Oleh: Hafiful Hadi Sunliensyar (Pemerhati Sejarah dan Budaya Kerinci)
Siapa yang tak kenal Gunung Kerinci? Gunung berapi tertinggi di Indonesia ini, telah menjadi primadona para pendaki Gunung Nasional dan Internasional. Gunung setinggi 3805 mdpl ini, menjulang di tengah-tengah Pulau Sumatra. Tak hanya itu, gunung yang pernah ditaklukkan Presiden Joko Widodo saat berstatus mahasiswa UGM ini, semakin meningkat ketenarannya, tatkala Jokowi memaparkan memorinya tentang pengalaman mendaki Gunung Kerinci saat berkunjung ke Provinsi Sumatra Barat beberapa waktu yang lalu.
Namun tak ada yang menyangka bahwa Gunung Kerinci sendiri menjadi polemik di tengah masyarakat Jambi terutama masyarakat Kerinci dengan masyarakat Solok Selatan di Sumatra Barat terkait klaim kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam yang satu ini. Hal ini dikarenakan posisi Gunung Kerinci sendiri terletak di perbatasan ke dua provinsi.
Apalagi, di saat Pemkab Solok Selatan-- kabupaten yang terbentuk tahun 2004-- membuka jalur pendakian Gunung Kerinci yang baru dari wilayahnya pada tahun 2017. Sontak saja, menimbulkan kontra di tengah-tengah masyarakat Kerinci yang memiliki jalur  pendakian utama Gunung Kerinci sejak tahun 1933 via Kersik Tuo, Kayu Aro. Menyikapi hal ini, izinkanlah saya memaparkan beberapa data sejarah penting terkait dengan kepemilikan Gunung Kerinci tersebut.
Gunung Kerinci dulunya bernama Gunung Berapi
Gunung Kerinci sejatinya tak hanya menjadi primadona bagi masyarakat sekarang ini, tetapi sejak berabad-abad yang lalu, komunitas-komunitas adat telah mengklaim kepemilikan/penguasaan terhadap Gunung Kerinci ini. Data sejarah paling awal terkait dengan kepemilikan atau penguasaan Gunung Kerinci adalah naskah piagam dari Kesultanan Jambi sekitar pertengahan abad ke 18 M (1742-1776).
Naskah piagam atau piagem merupakan naskah kuno beraksara Jawi yang umumnya dikeluarkan pada masa Kesultanan Islam di Indonesia. Khusus di wilayah Jambi, naskah piagam ini berisi legitimasi penguasaan wilayah adat beserta batas-batasnya oleh pihak Kesultanan Jambi kepada penguasa daerah/lokal yang mengakui Jambi sebagai kerajaan protektornya.  
Kepemilikan dan penguasaan Gunung Kerinci juga disebutkan dalam naskah piagam dari Kesultanan Jambi ini, sebagaimana hasil alihaksara oleh Voorhoeve (1941), naskah-naskah tersebut berbunyi:
"Bahwa ini piagam tanah kepala persembah yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Nagara dengan cap surat celak piagamnya kepada Depati  Raja Simpan Bumi, Mangku Bumi  dan Depati Raja Simpan Bumi Indera Andum Laksana, Adapun perbatasannya dengan Yang Patuan Maraja Bungsu,  Gunung Berapi........"
Naskah yang lain berbunyi: "Bahwa ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi. Hilir sehingga Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang bertiga punya, serta anak jantan anak betinonya, sebatang larisnya, setitik airnya, sekapan tanahnya, ialah depati yang batiga punya, Dipati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi......"
Naskah ini dikeluarkan oleh Sultan Anum Suria Ingalaga yang bertahta di Kesultanan Jambi pada 1742-1776 M berisi mengenai pengakuan penguasaan wilayah adat oleh Kesultanan Jambi kepada penguasa lokal yang bermukim di kaki Gunung tersebut (sekarang wilayah kec. Siulak dan Siulak Mukai) yaitu Depati Intan, Depati Mangkubumi dan Depati Rajo Simpan Bumi. Wilayah penguasaan ketiga orang Depati tersebut mencakup Gunung Berapi secara keseluruhan.
Namun, wilayah di sebelah Utara Gunung Berapi sudah termasuk wilayah adat lain yaitu wilayah Kerajaan Sungai Pagu-- yang menjadi cikal bakal Kabupaten Solok Selatan--hal ini karena gunung Berapi sekaligus dijadikan sebagai penanda batas wilayah.  
Saat piagam dikeluarkan, Gunung Kerinci masih dinamakan sebagai Gunung Berapi, sesuai dengan penamaan oleh masyarakat setempat. 
Penamaan Gunung Berapi oleh Orang-Orang Belanda
Wilayah di sepanjang Pesisir Barat Sumatra, merupakan wilayah-wilayah paling awal yang menjadi koloni orang Barat di Pulau Sumatra, termasuk wilayah Kerajaan Indrapura yang merupakan tetangga  wilayah Kerinci di sebelah Barat, namun penguasaan mereka masih terbatas di wilayah pesisir saja, sementara wilayah pedalaman termasuk Kerinci belum dikuasai.
Sebagai gunung yang tertinggi di Sumatra, gunung "berapi" ini, bisa dilihat dari Indrapura, bahkan terlihat paling tinggi di antara jejeran bukit barisan jika kita berada di sana. Oleh sebab itu, orang-orang Barat menamakan gunung berapi ini sebagai "puncak Indrapura" atau piek van Indrapura sebagaimana yang tertulis di peta-peta awal mereka. 
Namun ketika mereka melakukan  sejumlah ekspedisi  ke pedalaman Sumatra pada  abad ke 19 M, mereka mengetahui bahwa Gunung yang disebut sebagai Puncak Indrapura tersebut berada di wilayah adat penguasa Kerinci sehingga sejak saat itu mereka mengganti istilah puncak Indrapura menjadi Gunung Kerinci (Mount Korintji) atau piek van Korintji (C. M. Kan, 1876).
Sejak saat itu pula, nama Gunung Kerinci mulai digunakan oleh kalangan-kalangan Barat termasuk di dalam buku maupun peta yang mereka buat dan kemudian dijadikan sebagai sumber bahan ajar geografi di sekolah-sekolah Hindia Belanda.
Kerinci dan Sumatera-WestKust
Kerinci termasuk wilayah paling akhir yang dikuasai Hindia Belanda di Pulau Sumatra. Wilayah ini secara resmi menjadi bagian dari jajahan Belanda pada tahun 1904 M melalui sejumlah ekspedisi militer yang mereka lakukan sejak tahun sebelumnya (Van Aken, 1915). Pada mulanya wilayah Kerinci secara administratif dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Jambi. Namun pada tahun 1922, Kerinci secara administratif dimasukkan ke dalam keresidenan Sumatra westkust di bawah Afdelling Kerinci-Painan. 
Pada tahun 1933, pendakian pertama Gunung Kerinci melaui Kersik Tuo dilakukan. Sejumlah dokumentasi Belanda yang bisa dilihat di KITLV-Pictura bertahun 1933, menunjukkan potret-potret pendakian Gunung Kerinci pertama. Di antaranya berjudul Rustpauze tijdens de beklimming van de piek van de Kerintji (3805 m.), Sumatra's Westkust Date 1933, seperti gambar-gambar berikut ini:

Rustpauze tijdens de beklimming van de piek van de Kerintji (3805 m.), Sumatra's Westkust Date 1933 (https://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)


Op de top van de piek van de Kerintji (3508 m.). Zittend in het midden J.H. Brinkgreve Date 1933 (https://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)

Een drager bij de afdaling van de piek van de Kerintji (3805 m.), Sumatra's Westkust Date 1933 (https://djambitempodoeloe.blogspot.co.id)
Setelah masa Kemerdekaan, Kerinci satu bagian dengan Pesisir Selatan dengan wilayah administratif bernama Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci dalam provinsi Sumatra Tengah. Pasca pemberontakan PRRI, pada tahun 1957 Provinsi Sumatra Tengah dipecah menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Sumatra Barat, provinsi Riau dan Provinsi Jambi. Kerinci saat itu menjadi kabupaten tersendiri dan memilih bergabung dengan provinsi Jambi dibandingkan dengan Sumatra Barat.
Saat itulah, tapal batas provinsi Sumatra Barat dan Jambi ditetapkan. Penetapan batas-batas ini sebenarnya masih menjadi polemik di antara ke dua provinsi termasuk mengenai keberadaan Gunung Kerinci. Peta-peta yang dilihat di Google Maps menunjukkan bahwa Gunung Kerinci dibelah menjadi dua bagian, bagian Selatan berada di wilayah Kabupaten Kerinci, Jambi sementara wilayah Utara berada di wilayah di Sumatra Barat. Ke dua wilayah administratif ini merasa berhak  memanfaatkan Gunung ini untuk kegiatan pariwisata dalam rangka menambah pendapatan daerah.
Kesimpulan
Dalam perspektif komunitas adat yang keberadaannya jauh lebih tua dibandingkan dengan Republik ini, Gunung Kerinci secara keseluruhan menjadi milik kaum adat yang berdiam di wilayah Kabupaten Kerinci saat ini, meskipun Gunung Kerinci dipisah oleh dua daerah administratif. 
Kita tidak tahu bagaimana pemerintah sebelumnya menetapkan batas wilayah kabupaten/provinsi, apakah berdasarkan sumber-sumber sejarah dan historiografi tradisional dari komunitas adat setempat, dari sumber-sumber Belanda atau penuh nuansa politik kedaerahan masa lalu. Sehingga mereka membelah gunung Kerinci menjadi dua bagian. Agaknya persoalan tapal batas ini sangat perlu diselesaikan melalui kajian akademis yang mendalam. Sebelum konflik-konflik sosial  tentang lahan semakin meluas.
Pemkab Solok Selatan juga harus arif menyikapi akan hal ini, sebagai masyarakat Sumbar (Minangkabau) yang katanya menunjung tinggi nilai-nilai dan aturan adat yang berlaku, tidak serta merta saja mengelola tanpa izin komunitas adat yang menguasainya sejak ratusan tahun lalu.
Begitu pula dengan pihak Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), sejak hutan-hutan  yang sejatinya merupakan wilayah adat masyarakat lokal diserahkan pengelolaannya kepada negara (TNKS) mereka sama sekali tidak berkoordinasi, mengajak peran serta komunitas adat tempatan, padahal masyarakat adat juga punya kearifan lokal tersendiri dalam mengelola hutan hingga masih bisa dilihat dan dinikmati sekarang. Tak ayal, beberapa tahun yang lalu TNKS -- termasuk gunung Kerinci-- pernah terancam dikeluarkan dari warisan alam dunia oleh Unesco.
Referensi:
Aken, A. Ph. van. 1915.  Nota betreffende de afdeeling Koerintji. [Batavia?], Encyclopaedisch Bureau.
C. M. Kan, Dr, 1876. Naar de Boven-Djambi en Korintji-Vallei, Voordracht, gehouden te haarlem in de vereegening: "oefening in Wtenschappen. J.L.Beijers, Utrecht
Voorhoeve, P. 1941, Tambo Kerintji: Disalin dari Toelisan Djawa Koeno, Toelisan Rentjong dan Toelisan Melajoe jang Terdapat pada Tandoek Kerbau, Daoen Lontar, Boeloeh dan Kertas dan Koelit Kajoe, Poesaka Simpanan Orang Kerintji, P.Voorhoeve, dengan pertolongan R.Ng.Dr. Poerbatjaraka, toean H.Veldkamp, controleur B.B., njonja M.C.J. Voorhoeve, Bernelot Moens, goeroe A. Hamid. Lihat disini
Kitlv-Pictura. Diakses Februari 2018 (atau lihat disini)
*Tulisan ini disadur dari Akun Kompasiana Penulis (16 Februari 2018)


2 komentar:

  Oleh: Wahyu Hidayat Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Kepemerintahan Fisipol Universitas Jambi dan anggota aktif Ikatan Mahas...

Mitos Tumbal Air Panas Semurup


 Oleh: Wahyu Hidayat
Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Kepemerintahan Fisipol Universitas Jambi dan anggota aktif Ikatan Mahasiswa Kerinci Sungai Penuh Jambi (IMKS-JAMBI).

Provinsi Jambi merupakan Provinsi yang mempunyai potensi dalam hal wisata, mulai Gunung kerinci sampai ke candi muaro jambi, acapkali wisata merupakan sektor unggulan dari pendapatan asli daerah (PAD).
Provinsi Jambi terdiri dari beberapa wilayah kabupaten/kota, dan ada salah satu kabupaten yang  memiliki ciri khusus yaitu kabupaten Kerinci yang sering disebut dengan negeri wisatanya provinsi Jambi. Selama ini masyarakat hanya tau kerinci sebagian kecilnya saja, mereka hanya kenal dengan Gunung kerinci, danau kerinci, danau gunung tujuh, kebun teh kayu aro, dan air terjun telun berasap. Akan tetapi ada satu objek wisata yang mungkin terdengar asing dari kuping kita selama ini yaitu “Air Panas Semurup” atau dalam bahasa kerinci disebut dengan “Gao”.
Air panas semurup merupakan objek wisata yang terletak di 11 kilometer dari pusat kota (sungai penuh) yang juga dapat ditempuh 8-10 jam dari pusat kota jambi. Wisata ini terletak dikawasan perumahan warga tepatnya di desa baru Air Hangat kecamatan Air Hangat Barat Kabupeten kerinci. Kawasan wisata ini merupakan kawasan wisata unggulan d kabupaten Kerinci, hampir setiap hari wisata Air panas didatangi oleh wisatawan baik lokal mapun mancanegara. Wisata air panas ini merupakan sumber air panas yang bersaal dari kawah gunnug kerinci, menurut pantauan masyarakat setempat sumber air panas ini pertama kali muncul ribuan tahun yang lalu, dan sampai saat ini belum ada yang tahu mengenai misteri munculnya air panas tersebut.
Air panas semurup ini yang berupa kolam memiliki luas 15 meter persegi dengan kedalaman kurang lebih 5 meter yang memiki tekstur warna kebiruan dan air nya yang sangat tentu panas yang memliki suhu 80 derajat celcius. Dahulunya air panas ini memiliki suhu sampai dengan 100 derajatcelcius, namun walaupun sekarang hanya 80 derajat celcius tetapi wiasata ini sangat mengagumkan dan sangat mengagumkan ketika kita bisa merasakan dan melihat ada titik air seoanas ini di dataran yang memliki tinggi 800 mdpl.
Air panas ini juga sangat menarik untuk dikunjungi karena kawasn ini dijaga dan dilestarikan dengan keamanan yang baik, karena capkali wisata air panas ini kerap menjadi tempat untuk bunuh diri, dari kejadian seperti itu pemerintah dalam hal ini masyarakat yang mengelola kawasan wisata ini sangat-sangat menjaga pintu masuk bahkan area kolam air panas itu diberi agar yang ketat agar masyarakat tak bisa masuk dengan mudah.
Wisata ini merupakan tempat yang sangat nyaman jika masyarakat ingi n santai dan menennagkan diri, selain dengan wisatanya yang menarik, masyarakat atau pengunjung juga bisa merebus telur dan pisang secara langsung di kola air panas tersebut. Selain dari kulinerya kawasan wisata ini juga digunakan masyarakat sebagai tempat untuk mandi, karena dikawasan wisata ini terdapat tempat pemandian khusus untuk masyarakat pengunjung maupun setempat.
Terlepas dari keindahan dan kecantikan air panas tersebut, ada sebuah misteri mitos yang selama ini menghantui dan membuat geregetan masyarakat kabupaten kerinci, terutama masyarakat sekitar daerah air panas. Bagaian tidak setiap tahunnya air pans tersebut selalu memakan korban.
Keganasan air panas tersebut menajdi teka-teki masyarakat selama ini, apakah memang air panas ini setiap tahunnya wajib ada korban yang meninggal. Berbagai kejadian yang terjadi kasus bunuh diri yang terjadi di air panas.
Menurut mitos masyarakat setempat kejadian  bunuh diri dengan cara menyobloskan diri k sumber air panas ini memnag tiap tahunnya selalu ada. Menurut mitos dari mulut ke mulut bahwa jangan pernah sesekali berbicara akan menyobloskan diri ke air panas walaupun itu nada becanda. Karena, sewaktu-waktu air panas teresebut akan memanggil secara tidak sadar. Kebnaykan dari korban tumbal air panas ialah masyarakat yang bukan dari daerah sekitar air panas.
Itulah mengapa pihak pengelola wisata saat ini mempagari air panas tersebut dengan pagar yang sagat tinggi erta penjagaan yang sangat ketat, dengan tujuan untuk menghindari masyarakat yang berniat bunuh diri di air panas semurup tersebut.
Dibalik keindahan dan kecantikan wisata air panas semurup ternyata terdapat sebuah mitos masyarakat setempat, yaitunya mitos tentang setiap tahunnya  air panas semurup yang selalu meminta tumbal. Hal yang selalu dihubung-hubungkan dengan peristiwa bunuh diri yang hampir terjadi setiap tahun di air panas semurup.


2 komentar:

Oleh: Nabhan Aiqani Pegiat Literasi di Kerinci Institute Kita kini hidup dalam masa genius ilmiah dan teknologi, tapi untuk pen...

Cerminan Kepemimpinan Luhur



Oleh: Nabhan Aiqani
Pegiat Literasi di Kerinci Institute

Kita kini hidup dalam masa genius ilmiah dan teknologi, tapi untuk pendidikan spiritual, kita jauh tertinggal dibanding orang-orang bijak zaman Aksial. Kepada merekalah kita mesti berguru (Karen Armstrong, 2006).

Dapat dikatakan, pemahaman tentang zaman aksial belumlah terlalu umum ditengah pemahaman masyarakat secara keseluruhan. Sehingga untuk mengawali, perlu pemaparan singkat mengenainya.
Zaman aksial adalah zaman yang memiliki rentang antara tahun 900-200 SM. Pada zaman ini, sendi-sendi dan dasar keagamaan mulai dicari untuk kemudian disusun menjadi satu aliran keagamaan murni. Kata aksial sendiri, memiliki akar kata “axios” yang berarti nilai. Dapat juga diartikan zaman aksial adalah zaman dimana munculnya banyak nilai-nilai dan pemahaman keagamaan yang sifatnya mencari tujuan dari hidup ini, utamanya dalam hal hubungan secara trasenden (ilahiah). Ada begitu banyak tokoh adiduniawi yang muncul memenuhi rongga-rongga kehidupan rohaniah manusia di zamannya yang bahkan memiliki pengaruh sampai saat ini.

Harus diakui manusia-manusia bijak pada zaman aksial, memiliki pengetahuan akan dunia yang lebih mendalam dibanding manusia pada zaman ini. Mereka mempertanyakan persoalan fisik dan metafisik yang terjadi, sampai hal-hal terkecil tentang kehidupan manusia pun dipertanyakan.

Nah..Sedikit pengantar singkat diatas dimaksudkan sebagai pengayaan khazanah pengetahuan bagi kita semua. Arah tulisan ini nantinya akan banyak membahas bagaimana tokoh-tokoh zaman aksial mampu menjadi manusia yang tidak egoistis, memandang segala persoalan secara positif dan terbuka, menanamkan nilai-nilai kearifan dengan sedapat mungkin menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela maupun amoral. Segala sesuatu dipikirkan dengan tenang dan bijaksana, tidak mengedepankan ego dan nafsu pribadi semata. 

Menjadi suatu hal yang terbalik bila kita refleksikan pada kondisi kontemporer. Satu hal yang patut kita unggulkan, karena secara penguasaan sains dan teknologi kita jauh lebih maju dari manusia zaman aksial, tapi secara pemahaman akan nilai-nilai dasar kehidupan kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Kesederhanaan dan kebijaksanaan hidup menjadi perbincangan yang memenuhi ruang-ruang diskusi di kalangan masyarakat pada zaman aksial itu.

Bagaimana tidak? buktinya ada banyak manusia genius di zaman ini, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai manusia yang berpengetahuan. Maraknya terjadi kasus-kasus asusila dan tindak kejahatan yang  menimpa manusia sekarang ini menunjukkan keringnya pemahaman akan hal-hal yang bersifat rohaniah. Kita telah jauh meninggalkan prinsip kebajikan dan kepedulian terhadap sesama, ujung-ujungnya  terjebak dalam lorong kehidupan tanpa makna.

Tak berlebihan bila cerita tentang Diogenes (seorang filosof miskin beraliran sinisme, yang kemana-mana hanya dengan sebuah tong besar) diungkap kembali. Ketika ia ditanyai oleh Kaisar Aleksander Agung, “apa yang kau inginkan, Diogenes? apapun akan aku berikan padamu” ujar Aleksander menawarkan. Dia menjawab dengan jawaban yang tak terduga, “ aku hanya meminta satu hal padamu, Alek, tolong anda berdiri menyingkir agar sinar matahari bisa mengenai tubuhku.” Begitu luhur budi seorang di zaman itu, karena memandang apa yang telah ia miliki sudah cukup dan mampu untuk memberikan kebahagian kecil dalam hidupnya. Ia bahkan tidak meminta materi, sinar matahari yang terhalangi oleh tubuh Kaisar Aleksander sudah cukup baginya.

Sangat Ironis, bila dibanding dengan “dagelan politik” perebutan kekuasaan yang tak kunjung akhir, sampai menggunakan cara-cara keji agar kepentingannya dapat tercapai, tidak peduli apakah itu bersesuaian atau tidak dengan etika dan moral. Aturan hukum hanya dipandang sebagai kata-kata indah, yang tidak akan mampu menjamahnya.

Kalau pun boleh berandai, mereka juga perlu hidup dan belajar lagi dari cerita China prasejarah, yang menampilkan sosok bijak Yao dan Shun. Yao merupakan seorang raja yang memimpin dengan arif dan bijaksana, menyandarkan kepemimpinannya pada prinsip-prinsip kebajikan. Menariknya di akhir kekuasaan, ia tidak mewariskan kekuasaan pada anaknya sendiri. Yang menurutnya, dia tidak akan mampu memimpin dengan mengedepankan budi luhur nan agung. Sosok Shun yang diluar dugaan muncul meneruskan suksesi Yao. Shun hanyalah seorang petani miskin biasa, bahkan ia tidak pernah bermimpi apalagi menduga bisa menduduki jabatan ini. Jatuhnya pilihan kepada Shun, dikarenakan Yao merupakan seorang pemimpin yang memiliki sifat adi luhung  dan tidak terlalu mencintai dunia (zuhud).

Adalah hal yang langka di temui di zaman ini, dimana elit-elit kekuasaan akan menjatuhkan pilihan pada orang-orang yang benar-benar mampu dan memiliki empati medalam akan kepedulian untuk menyejahterakan rakyat. Setidaknya fakta itu bisa dilihat ketika massifnya dinasti politik (oligarki) disana-sini. Apabila kondisi demikian yang tercipta, tendensi kekuasaan akan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Seirama dengan adagium hukum dari Lord Acton (1834-1902), Power tends to corrupt and Absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung disalah gunakan dan kekuasaan absolut pasti disalah gunakan).

Apa yang terjadi kini, harus disadari merupakan kelalaian kita dalam memahami pentingnya hakikat hidup. Prinsip-prinsip kebajikan bukan menjadi tren, hal-hal yang baik dipandang lucu dan terabaikan. Mana mungkin di zaman ini ada pemimpin, layaknya Umar bin Khattab yang mau turun dari satu rumah ke rumah, berjalan malam hanya untuk memastikan kondisi masyarakatnya dalam keadaan baik dan berkecukupan. Hingga ia menyesali dirinya sendiri, karena ada satu keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makan anaknya.

Demikan juga dengan dengan nilai-nilai ahimsa (tanpa kekerasan) yang dijalankan dalam budaya hindu. Pun dengan, para penyangkal dunia di zaman India kuno, yang rela meninggalkan kenikmatan dunia, hanya demi mencari hakikat kehidupan (athman).

Inilah yang alfa dalam kehidupan manusia yang serba ada saat ini. Manusia modern kini hidup bergelimangan kemewahan. Tidak ada yang peduli dengan kondisi sosial yang ada disekitarnya. Mata hati mereka telah dilenakan dan dibutakan.


Akhirnya, mau tidak mau kita harus belajar dan menyadari tindakan-tindakan amoral yang marak terjadi dengan atau tanpa disadari, justru akan mengarahkan kehidupan menuju kehampaan hidup. Hidup tanpa memiliki nilai, makna akan hidup telah dipandang sempit, terbatas pada kepentingan peribadi. Kata “Aku” harus bisa seminimal mungkin direduksi, karena sejatinya kata orang-orang zaman aksial, saat seseorang mampu mengendalikan egonya, disaat itulah dia menjadi manusia seutuhnya.

1 komentar:

Oleh:  Idel Eprianto Penulis adalah    Dosen STIA Kabupaten Kerinci dan  Mahasiswa Program  Doktor al  di Universitas Bengkulu . ...

Menolak Politik Identitas Pada Pilkada Kerinci


Oleh: Idel Eprianto
Penulis adalah  Dosen STIA Kabupaten Kerinci dan Mahasiswa Program Doktoral di Universitas Bengkulu.

Gong politik telah berbunyi, pesta demokrasi akan segera di laksanakan berbagai daerah di Indonesia, pesta tersebut dikemas dalam bentuk pilkada. Pilkada  adalah bagian dari Pemilu, Pemilu disebut juga “political market” artinya bahwa pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara pesrta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih. Pilkada serentak dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan kemudian dalam pilkada tersebut diawasi oleh lembaga yang bertugas mengawasi pilkada tersebut yakni Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU).
Kabupaten Kerinci merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jambi yang memiliki keanekaragaman budaya dan bahasa yang membuat Kerinci berbeda dengan daerah-daerah lainnya diprovinsi jambi. Memiliki status sebagai kabupaten yang majemuk, hal ini ditandai dengan berbagai macam bahasa yang digunakan masyarakat dalam kesehariannya, bahkan setiap desa memliki bahasa yang berebeda-beda. Tentunya ini menjadi poin tersendiri dalam hal kebudayaan di kabupaten Kerinci.
Kekayaan kebudayaan yang ada di kabupaten Kerinci menjadi bumerang tersendiri bagi Kerinci, hal ini dikarenakan kabupaten Kerinci sangat rentan terjadi konflik di setiap daerahnya, karena rasa primordialnya di masing-masing desa masih tinggi, sehingga ini yang menyebabkan konflik antar desa sangat mudah terjadi. sumber-sumber konflik bahkan berawal dari hal yang kecil.
Tahun 2018 merupakan tahun pesta demokrasi pilkada serentak yang dalam hal ini kabupaten Kerinci akan ikut serta dalam kompetisi yang  akan memperebutkan kursi orang nomor satu di kabupaten Kerinci. Yang namanya kompetisi tentunya strategi-strategi para bakal calon bupati dan wakil bupati akan dilakukan dalam bentuk apapun.
Akhir-akhir ini menjelang pilkada serentak di kabupaten Kerinci, masing-masing kandidat mulai menyiapkan amunisi yang akan digunakan dalam pilada serentak tahun ini. Dari sinilah mulai awal kisah isu Kerinci hilir, Kerinci mudik dan Kerinci tengah di boomingkan. Strategi seperti ini sangat sensitif sekali jika terus dirawat dan dikembangkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab ini.
Kita tahu, bahwa Kerinci rentan sekali terjdi konflik saat pilkada dilaksanakan, hal yang senada juga diungkapkan oleh Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) yang merilis Indeks Kerawanan Pemilu (pilkada 2018) kabupaten/kota yang menempatkan Kerinci pada urutan ke 9 dari 10 daerah kabupaten/kota yang rawan terjadinya  konflik. Dengan demikian apalagi isu politik identitas ini kemudian di kembangkan, maka rawan sekali terjadi konflik, ini yang kita takutkan.
Masyarakat Kerinci terkenal akan fanatisme terhadap daerahnya, ketika hal seperti ini “politik identitas” di suguhkan maka jangan heran jika nanti apa yang ditakutkan bawaslu akan benar-benar terjadi di Kerinci, karena kita tahu bahwa masing-masing kandidat memiliki massa yang fanatik. Pengelompokan seperti ini tentunya akan menjadi sebuah masalah besar bagi pihak penyelenggara, malah yang kita takutkan ialah terjadinya kericuhan pasca pilkada mengingat fanatisme masyarakat yang begitu tinggi. Masih segar diingatan kita tentang seringnya muncul bentrok antar pendukung pasca pilkada di Kerinci. kejadian semacam ini yang kemudian harus disterilkan.
Berbagai macam bentuk konflik yang sudah terjadi sebelum pilkada dilaksanakan pada tahun ini, misalkanlah saling sindir-menyindir atau bahasa ilmiahnya black campaign yang dilontarkan oleh masing-masing timses bakal calon, namun konflik ini masih bisa di netralisir dengan baik. Lain halnya dengan isu identitas yang begitu sensitif ini pecah, maka konflik besar akan terjadi dan tidak dapat dihindari, apalagi baru-baru ini pernah terjadi konflik antar warga Tamiai (Kerinci Hilir) dengan warga peladang yang notabene dari Kerinci bagian tengah. Sedikit dipoles saja isu ini oleh salah satu oknum maka konflik yang kita takutkan akan pecah kembali.
Pada hakekatnya, isu politik identitas ini di bumingkan bilamana dari ketiga bakal calon bupati dan wakil bupati berasal dari masing-masing daerah yang diiuskan, itulah mengapa isu ini terus dirawat bahkan sengaja di lontarkan sebagai strategi untuk mengagitasi masing-masing wilayah di Kerinci.
Terlepas dari sebuah patologi pilkada Kerinci yang  seperti ini, ini sebenarnya ini menjadi pekerjaan rumah” kita bersama, bukan hanya pemerintah namun masyarakat juga harus cerdas dan dewasa dalam menyikapi politik. Kita tidak ingin pilkada tahun ini akan sama dengan pilkada sebelum-sebelumnya yang selalu meninggalkan serpihan sejarah konflik pasca pilkada.
Dengan demikian untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas dan dewasa dalam berpolitik dengan tujua akhir akan membentuk masyarakat yang rasional, maka sosialisasi-sosialisasi kepada masyarakat harus terus di rawat dan dilakukan secara masif di wilayah kabupaten Kerinci.
Sosialisasi yang dilakukan harus secara rutin dilaksanakan di setiap daearah, bahkan tidak mungkin pemerintah atau lembaga lainnya dibentuk semacam satgas yang secara khusus mengawal dan menetralisir isu-isu yang sensitif terhadap pilkada.
Jika hal ini benar-benar dilakukan secara kolektif, baik itu pemerintah maupun masyarkat maka pilkada serntak di kabupaten kerinc akan berjalan dengan baik dan lancar serta damai sehingga apa yang kita cita-citakan akan terwujud dengan masyarakat yang mengedepankan asas rasionalitas dan menolak politik identitas.




1 komentar: