Membumikan Literasi di Bumi Sakti

oleh: Yudriza Sholihin Indonesia adalah negara agraris dan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Pada dasarnya bany...

Pemberantasan Korupsi Dalam Narasi Sosiologi

oleh: Yudriza Sholihin

Indonesia adalah negara agraris dan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Pada dasarnya banyak hasil bumi yang dapat digunakan untuk memajukan dan membuat Indonesia menjadi negara yang superior dan mandiri. Keadaan yang  belum tentu di miliki oleh negara lain. cukup membanggakan bukan?
Walaupun demikian, ada hal dimana justru sangat disayangkan. Kendati bangsa Indonesia sangat kaya akan hasil buminya, namun sebagian besar rakyatnya justru hidup dalam kemiskinan dan jauh dari taraf kesejahteraan. Masih banyak rakyat Indonesia yang putus sekolah, pengangguran, dan tidak mendapat pengobatan, serta tidak memiliki tempat tinggal yang tidak layak. Negara yang kaya hasil buminya, justru menjadi negara yang tertinggal dari negara-negara tetangga. Kondisi ini akan terus terjadi jika Indonesia masih terus mengimpor bahan pangan dari mereka.
Menyedihkan dan miris memang mendengarnya. Namun ini seakan jadi fenomena yang sudah tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Jadi, wajar jika ada pertanyaan apa yang terjadi sebenarnya? Banyak faktor yang dapat menyebabkan rakyat menjadi sengsara di tengah kekayaan alam Indonesia. salah satunya adalah pengelolaan negara yang masih keliru atau bahkan salah. Contoh kesalahan yang terjadi di dalam pengelolaan negara adalah adanya korupsi yang ada hampir di setiap bidang.
Sudah tidak perlu ditegaskan lagi, korupsi adalah masalah utama bangsa kita. Tentu saja masih banyak masalah bangsa yang lain. Tetapi korupsi adalah akar masalahnya. Kemerdekaan kita dirampas oleh koruptor. Negara ini telah merdeka, namun efek pembangunan belum dirasakan oleh banyak warga bangsa, karena korupsi yang marajalela. Pendidikan dikorupsi. Kesehatan dikorupsi, dana ibadah haji dikorupsi. Pengadaan pangan dikorupsi. Tidak ada satu bidang punyang luput dari penyakit korupsi.
Korupsi sebagai musuh besar bangsa seolah kian sulit diberantas. Meski sudah lama dinyatakan sebagai extra ordinary crime dan harus diberantas melalui cara extra ordinary pulaberita tentang pejabat yang terjerat korupsi mewarnai media setiap hari. Kondisi itu memberikan kesimpulan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa diharapkan hanya pada aparat penegak hukum, kejaksaan, maupun pengadilan. Diperlukan satu institusi khusus pemberantasan korupsi yang kokoh serta gerakan sosial untuk memerangi kejahatan yang memiliki daya rusak tinggi ini.
Dalam sejarahnya, perang melawan korupsi di Indonesia sering berhenti karena political will yang tidak cukup panjang. Korupsi itu sendiri sejarahnya sudah mulai mengejala pada era sebelum kemerdekaan, ketika negara Indonesia belum memiliki nama, masih sebagai kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Masing-masing orde di Indonesia, sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi memilki jejak sejarahnya masing-masing dalam memberantas korupsi. Namun demikian, berbagai macam upaya, yang juga dikupas secara lebih detail dalam kajian ini, tak berdaya untuk mengurangi praktek korupsi. Hal ini diakibatkan oleh sentiment rezim penguasa, dengan berbagai macam pengaruh dari jaringan, orang-orang terdekat yang ada disekelilingnya, maupun para pebisnis yang tak menyukai langkah-langkah progresif melawan korupsi, untuk menghentikan dan mendelegitimasinya.
Dari Berbagai macam inisiatif negara melawan korupsi yang telah atau pernah dilakukan pada Orde lama, seperti PARAN (Panitia Retolling Aparatur Negara), Operasi Budhi dan Kotrar (Komando Tertinggi Retolling Aparat Revolusi) berhenti karena faktor prestise presiden yang tidak boleh diganggu. Berlanjut ke Orde Baru, berbagai macam usaha juga telah diambil, seperti pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi) yang diketuai Jaksa Agung dan Operasi Tertib (Opstib) yang cepat menguap tanpa banyak hasilnya karena tak dapat menyentuh korupsi pada level elit. Ketidakmampuan politik adalah penggajalnya.
Pun pada Era Reformasi, terutama pada generasi awal, Indonesia kembali menabuh genderang perang melawan korupsi, dimulai dengan pembentukan KPKN, KPPU dan lembaga Ombudsman, dilanjutkan dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada era Gus Dur. Pada akhirnya, KPKPN berganti menjadi KPK, dan TGPTPK dibubarkan oleh MA melalui sebuah putusan judicial review.
Barangkali, nafas yang cukup panjang ada di KPK. Usia lembaga ini sudah mencapai 14 tahun, sebuah capaian yang paling baik diantara organisasi atau lembaga pemberantas korupsi yang pernah dibentuk sebelumnya. Dari sisi kelembagapun KPK  dipandang lebih baik dari pada yang lahir sebelumnya. Barangkali karena KPK dibentuk dalam situasi sejarah yang berbeda, dimana atmosfer reformasi ikut mempengaruhi cara pandang pemerintah dalam mendesain kelembagaan KPK, meskipun pada akhirnya, KPK dipandang sebagai ancaman serius bagi. Hal itu dibuktikan kemudian dengan berbagai upaya untuk melawan balik KPK, seperti melalui  Judicial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah dilakukan beberapa kali oleh pihak yang berbeda, melalui pelemahan internal KPK dalam bentuk kriminalisasi Komisioner KPK yang terjadi secara periodik, maupun melalui mekanisme legislasi, yakni revisi UU KPK. Dari semua usulan revisi atas UU KPK, tidak ada satupun yang mengarah pada penguatan kelembagaan KPK.
Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Diantaranya adalah adanya kesempatan, tidak sesuai reward yang diberikan dalam bekerja, dan penegakkan hukum Indonesia tidak begitu tajam dalam memberantas korupsi. George C Homants seorang sosiolog berkebangsaan Amerika Serikat memperkenalkan sebuah teori untuk mengungkapkan perilaku manusia atau realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dia memperkenalkan Teori Pertukaran Sosial (Sosial exchange theory). Dalam teori ini ia mengungkapkan bahwa “Perilaku individu disebabkan sesuatu yang berada diluar individu”. Sesuatu yang berada diluar individu tersebut adalah ganjaran (reward) dan hukuman (punishment).
Reward dan punishment itu dapat dalam bentuk material (Benda, uang, barang, dan lain-lain) maupun non material (Senyuman, pujian, pelukan, dan lain-lain). Tindakan sosial dilihat equivalen dengan tindakan ekonomis. Suatu tindakan adalah rasional, berdasarkan perhitungan untung-rugi. Dalam aktor sosial, aktor mempertimbangkan juga keuntungan yang lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio). Perilaku individu dipahami sebagai respon individu terhadap adanya ganjaran dan hukuman. Makin tinggi ganjaran yang diperoleh, makin besar kemungkinan tingkah tertentu diulang. Dan makin tinggi ancaman yang akan diperoleh makin kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan diulang.
Mengapa marak terjadi korupsi? Karena para koruptor mendapatkan Reward yang lebih besar dibandingkan Punishment. Reward dalam hal ini uang. Sedangkan punishment sanksi yang berupa kurungan penjara. Contohnya seorang koruptor melakukan korupsi sebesar 10 miliar (Reward). Sedangkan ia mendapatkan kurungan penjara selama 1 tahun (Punishment).  Hanya satu solusi untuk memberantas korupsi di Indonesia. Dimana korupsi hanya bisa diberantas oleh pemerintah. Hukuman yang diberikan harus berat dan memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi. (***)

0 komentar: