Oleh:Septa Dinata
(Intelektual Muda Kerinci dan Peneliti di Paramadina Public Policy Institute)
Politik
pada hakikatnya adalah untuk kemaslahatan atau kesejahteraan umum. Politik
merupakan ruang sekaligus alat untuk membangun kesepahaman dan kesepakatan
untuk mencapai kebaikan bersama (common good).
Tak
dapat dipungkiri, terlebih dalam masyarakat multikulural, mulitietnis,
multireligi, dan lain sebagainya, terdapat berbagai macam jenis kepentingan.
Kepentingan-kepentingan tersebut seringkali memiliki irisan antar berbagai
kepentingan bahkan seringkali berlapis. Maka, dalam upaya membangun kesepahaman
dan kesepakatan untuk kebaikan bersama, arena politik akan diwarnai dengan
berbagai pertarungan dan intrik. Setiap pihak dan entitas akan berupaya
memainkan "kartunya" agar kepentingan mereka terakomodir, bahkan ada
kecenderungan ingin mendominasi dan secara sadar mengekslusi kepentingan
kelompok yang tak berdaya.
Saking
sengitnya pertarungan di ranah politik, para "pemain" seringkali lupa
diri. Mereka lupa ke mana segala "permainan" tersebut akan berakhir.
Bagi yang tak berfikir panjang, "permainan" tersebut acapkali
berhenti hanya sebatas kepentingan sempit mereka sendiri. Apa yang menjadi
tujuan mulia politik "kebaikan bersama (common good)" sama sekali
tidak dihadirkan dalam segala perdebatan dan pertarungan.
Politik dan Etika
Pertarungan
politik yang sengit dan penuh intrik, sadar atau tidak sadar, membuat para
politisi memilih cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya. Dalam pertarungan
politik, segala tindak dan laku diukur berdasarkan kategori kalah-menang --tak
peduli apakah itu benar atau salah secara moral. Argumentasi inilah yang
membuat beberapa moralis berpendapat bahwa etika dalam kehidupan keseharian tak
berlaku dalam politik.
Para
moralis seperti Ibn Khaldun, Thomas Hobbes, dan Machiavelli berpandangan bahwa,
intrik dan tipu-daya dalam memenangkan pertarungan dalam politik adalah sesuatu
yang tak terhindarkan. Seorang politisi harus bisa sedapat mungkin memainkan
segala sumber daya yang dimilikinya untuk memenangkan sebuah pertarungan.
Seorang pemimpin atau politisi dimungkinkan bertindak di luar standar etis
kehidupan normal untuk mengefektifkan kepemimpinan politiknya.
Namun, pengkhususan moral terhadap ranah politik tetap dibatasi
oleh "tujuan akhir" dari semua intrik dan tipu daya dalam politik.
Tujuan akhir dari semua itu adalah "kebaikan bersama (common good)",
bukan kepentingan pribadi. Jadi, secara moral, tindakan politik dimungkinkan
keluar dari standar etis keseharian sepanjang masih diorientasikan untuk
kepentingan bersama atau kebaikan bersama. Dengan kata lain, poitik tak dapat
diukur dari cara, tapi dari tujuan akhir. Itulah marwah politik.
0 komentar: