Membumikan Literasi di Bumi Sakti

campus.imcnews.id Wahyu Hidayat Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Jambi dan BPH IMKS-JAMBI. Indonesia adalah sal...

Tradisi Mandi Balimau di Semurup

campus.imcnews.id

Wahyu Hidayat
Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Jambi dan BPH IMKS-JAMBI.

Indonesia adalah salah satu negara di dunia bahkan mungkin satu-satunya negara yang memiliki keanekaragaman suku, agama, etnis, bahasa, serta kebudayaan yang tersebar luas di ribuan pulau yang terdapat di sepanjang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Masyarakat yang multikultural atau heterogen membuat bangsa ini mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Bahkan, kemajemukan ini membuat bangsa Indonesia menjadi percontohan negara yang masyarakatnya toleran terhadap perbedaan.


Kemajemukan dalam hal budaya merupakan ciri utama bangsa Indonesia, hal ini dikarenakan bangsa Indonesia memiliki budaya-budaya yang berbeda di setiap daerahnya. Dan juga di suatu daerah memiliki berbagai macam budaya yang berbeda pula. Inilah yang membedakan dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang menarik untuk dikunjungi dan diteliti. Keramahan masyarakat sudah dikenal manca negara hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan perbedaan dan ini yang menjadikan orang asing yang masuk ke daerah adalah hal yang biasa dan patut untuk dihormati, hal semacam itu merupakan hal yang lumrah dalam perbedaan.

Keanekaragaman budaya di Indonesia dibuktikan dengan adanya pesta ataupun pegelaran budaya di setiap daerah masing-masing yang mempresentasikan bahwasanya kebudayaan tersebut merupakan warisan budaya dari nenek moyang. Misalkan di daerah Provinsi Jambi, Kabupaten Kerinci tepatnya di Semurup, yang mana masyarakatnya masih memegang teguh kebudayaan leluhur nenek moyangnya, hal ini di buktikan dengan digelarnya sebuah tradisi budaya yakni Mandi Balimau setiap lima tahun sekali. Mandi Balimau merupakan salah satu dari berbagai macam kebudayaan daerah lainnya dan merupakan satu dari ribuan bentuk kebudayaan yang tersebar di bangsa yang kaya akan kebudayaan masyarakatnya.

Mandi Balimau adalah salah satu budaya daerah Kabupaten Kerinci tepatnya didaerah Semurup. Budaya ini merupakan budaya asli nenek moyang daerah Semurup yang sudah terjadi beberapa abad yang lalu. Tigo Luhah atau tiga lurah sebutan khas daerah Semurup merupakan salah satu daerah persatuan desa-desa (baca:saat ini) namun sebelumnya Tigo Luhah Semurup merupakan satu daerah yang terintegrasi antara tiga lurah ataupun daerah yang terpusat dalam suatu organisasi yang disebut “Semurup”.

Pada mulanya Semurup terdiri dari dua lurah yakni pertama Lurah Kuto Pudin dan yang kedua adalah Luhah Kuto Jiluang yang terintegrasi dengan nama Kuto Payung Semurup Tinggi, tepatnya di sana awal mula berdirinya teratak atau lahan perumahan warga pada saat itu dan pada akhirnya barulah terbentuk sebuah dusun yang terdiri ari beberapa teratak yang sudah dibangun oleh masyarakat Kuto Payung Semurup tinggi pada saat itu.

Setelah terbentuknya dusun maka secara perlahan masyarakat duo lurah berkembang dengan pesat, maka kemudian akhirnya dibentuklah lurah yang ketiga yang diberi nama lurah mudo (lurah muda). Lurah ini diberi nama lurah mudo karena lurah ini lurah yang terbilang baru dan hasil dari perkembangan masyarakat duo lurah. Dengan demikian Semurup terdapat tiga lurah yang kemudian hingga saat ini Semurup dikenal dengan sebutan istilah adat yakni Tigo Luhah Semurup.
Kemudian, setelah terbentuknya Tigo Luhah barulah dibentuk aturan-aturan adat yang pada saat itu berisikan tentang anjuran membentuk kepala dusun dari ketiga lurah tersebut dengan diberi nama depati untuk masing-masing pemimpin lurah masing-masing.

Dengan hal ini, pada saat itu para tokoh adat dalam hal in para depati membentuk suatu peraturan untuk masyarakat tigo lurah Semurup dengan sumpah yakni Mandi Balimau untuk dilakukan sekali dalam dua tahun yang hingga saat ini masih berlaku sehingga menjadikan Mandi Balimau sebagai budaya Semurup yang harus dilakukan rutin dalam dua tahun.

Mandi Balimau adalah  mandi bersama antara para depati, ninik mamak untuk menyiramkan limau pada mayarakat tigo lurah Semurup. Adapun maksud dan tujuan dari Mandi Balimau ialah “menyambung yang putuh, mematut yang silang, menjernihkan yang keruh dan saling kenal- mengenal”. Artinya ialah mempertemukan seluruh masyarakat tigo lurah agar saling kenal satu sama lain dan kemudian untuk menyatukan agar masyarakat tigo lurah Semurup tahu budaya asal daerah Semurup.

Esensi yang patut kita ketahui dari tradisi Mandi Balimau ialah yang mana jika sebelumnya antar masyarakat terdapat konflik dengan tradisi Mandi Balimau konon bisa mengobati rasa dengki dan iri antar masyarkat ketika setelah disiram dengan air limau. Inilah maksud ataupun hikmah dari tradisi Mandi Balimau yang membudaya di daerah Semurup atau sering disebut Tigo Luhah Semurup.
Keunikan tradisi Mandi Balimau ini menurut penulis harus dipertahankan dan dikembangkan agar nantinya generasi-genarasi muda saat ini mengenal sehingga tradisi ini akan terus berkembang. Harapannya di era globalisasi ini tradisi Mandi Balimau tidak akan terancam dengan arus westernisasi. Hal yang perlu dilakukan ialah mensosialisasikan kepada generasi muda serta menjalankan tradisi ini secara rutin.


0 komentar:

Septa Dinata AS* Pagi itu, seperti biasanya, cuaca terasa sejuk. Dari ketinggian perbukitan Koto Bingin Tinggi, salah satu bekas pemukima...

Adat dan Konflik Horizontal di Kerinci


Septa Dinata AS*

Pagi itu, seperti biasanya, cuaca terasa sejuk. Dari ketinggian perbukitan Koto Bingin Tinggi, salah satu bekas pemukiman purba di Kerinci, terlihat hamparan lembah begitu indah dan masih alami. Tak ada rasa jemu ke mana pun mata memandang. Meski sudah ditaburi oleh rumah penduduk, hamparan hijau sawah tetap masih dominan.


Bila pandangan dilemparkan ke bagian mudik, tampak Gunung Kerinci yang berdiri kokoh dan menjulang tinggi. Di bagian hilir, tampak pula Danau Kerinci yang dihiasi embun pagi.
Namun, keindahan alam Kerinci nan molek itu tak seperti sejarah sosial masyarakatnya. Meski hidup di tengah-tengah perbukitan dan lembah yang hijau, sejuk, indah dan hening, sejarah sosial masyarakat Kerinci hampir tak pernah luput dan selalu dihantui oleh masalah hiruk-pikuk konflik horizontal yang disebabkan oleh berbagai macam masalah, mulai dari masalah remeh-temeh seperti masalah asmara sampai ke masalah politik dan agraria.

Belum lama berselang, konflik kembali pecah di Batang Merangin atau lebih spesifiknya di Tamiai (20/03/17). Tak tanggung-tanggung, konflik tersebut menyebabkan sejumlah orang terluka cukup parah dan puluhan sepeda motor dibakar oleh para pihak. Kali ini, masalah yang disangketakan cukup serius, yaitu masalah hak ulayat atas tanah Keadipatian Muaro Langkap Masalah serupa juga sempat berhembus di wilayah Keadipatian Rencong Telang di Pulau Sangkar yang jaraknya tak terlalu jauh dari Tamiai.

Jauh sebelum itu, konflik juga terjadi di antara masyarakat Tanjung Pauh dan Kumun yang berdampak pada pembakaran rumah dan korban luka-luka. Hal yang sama juga pernah terjadi di Kemantan dan Pendung yang menelan korban jiwa. Bahkan, konflik yang berujung pada pembakaran puluhan rumah pernah terjadi di Siulak, meskipun para pihak yang berkonflik masih dalam satu rumpun adat Tigo Luhah Tanah Sekudung. Selain itu, konflik yang berlatar-belakang masalah politik juga pernah terjadi antara Siulak dan Semurup yang berujung pada pemblokiran jalan raya.

Adat dan kepemimpinan politik
Jika ditinjau lebih jauh, sistem adat yang terbangun di Kerinci mengandung antisipasi-antisipasi konflik. Pada zamannya, tak banyak sistem adat atau politik secanggih sistem yang ada di Kerinci. Sistem adat Kerinci tak mengenal raja tunggal yang absolut. Kepemimpinan politik di Kerinci berbentuk presidium. Sistem yang canggih itu, dalam perspektif sosiologi pengetahuan, tak luput dari model sosial dan kultural serta geopolitik saat itu yang kemudian mempengaruhi sistem pengetahuan masyarakat mengenai kekuasaan.

Dalam sistem presidium, setiap keputusan harus diambil secara kolektif. Dalam tradisi politik Kerinci, sejak kepemimpinan adat yang semula Depati 4 dan kemudian dikembangkan menjadi Depati 4 dan 8 Helai Kain, Tigo Luhah Tanah Sekudung, Pegawai Jenang Pegawai Rajo, Batu Gong Tanah Kurnia, dan Lekuk Limo Puluh Tumbi. Masing-masing Depati yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di masing-masing wilayah berkumpul di Balai Adat yang berlokasi di Hamparan Besar Tanah Rawang. Semua utusan memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam pengambilan keputusan.

Model sistem tersebut dibangun bukan tanpa alasan. Bentuk geografis Kerinci yang pagari oleh perbukitan, hutan yang lebat dan binatang buas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pola sosial masyarakat. Kondisi geografis tersebut membuat Kerinci relatif sangat aman dari gangguan musuh. Kerajaan mana pun tak mampu mengontrol Kerinci secara penuh. Relasi Kerinci dengan kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya pun kemudian dibangun secara koordinatif dan tidak hirarkis. Hal ini terbukti dengan adanya naskah-naskah kuno yang berisi tentang perjanjian-perjanjian dagang.

Dengan model sosial dan geopolitik yang demikian, Kerinci tak memiliki musuh bersama sehingga identitas komunal tak menjadi begitu kuat. Identitas masyarakat terbentuk berdasarkan zona masing-masing komunitas masyarakat yang dipimpin oleh seorang Depati. Masyarakat pun merasa tak butuh adanya komando tunggal karena peperangan dengan daerah lain sangat jarang terjadi di masa lalu. Itu pula yang menjelaskan kenapa Kerinci tak memiliki tradisi militer seperti kerajaan-kerajaan lain pada zamannya.

Melemahnya kapasitas adat
Seiring berjalannya waktu, identitas yang terkotak-kotak berdasarkan zona tersebut menimbulkan masalah yang pada umum dikarenakan oleh adanya sentimen sosial antar zona wilayah atau antar kampung. Model sistem politik birokrasi modern yang lebih terbuka dan bebas membawakan cerita yang berbeda ketika berhadapan dengan model sosial masyarakat Kerinci. Model kepemimpinan presidium dan zona adat yang terkotak-kotak tak dilihat lagi signifikansinya. Identitas komunal di masing-masing zona tersebut malah dijadikan atau dilihat sebagai “lahan basah” untuk sumber daya politik atau komoditas politik. Akibatnya, primordialisme masing-masing keadipatian pun semakin kuat dan mengkristal.

Dengan kondisi seperti itu, adat tak lagi menjadi tumpuan kepemimpinan dan kebijaksanaan. Adat menjadi tak lebih sebagai subbagian dari politik. Akhirnya, kepedulian dan rasa memiliki atas Kerinci secara keseluruhan semakin hilang. Semua entitas keadipatian yang ada berbicara atas dasar kepentingan komunal kelompok mereka masing-masing. Kewibawaan Kelembagaan adat semakin merosot. Hal ini tampak dari semakin tak berperannya kelembagaan adat Depati Empat dan Delapan Helai Kain dalam penyelesaian konflik-konflik. Inilah salah satu penjelasan kenapa konflik yang baru saja terjadi di Tamiai bisa terjadi.

Jika berkaca pada tradisi masa lampau, adat memiliki mekanisme untuk menerima para pendatang. Dalam setiap zona masing-masing wilayah selalu ada penghuni pertama dan pendatang. Pada masa lampau, para pendatang diterima dengan begitu baik dan bijaksana. Mereka bahkan diberikan gelar adat khusus sesuai dengan gelar adat di mana mereka berasal. Misalnya dalam ulayat adat Tigo Luhah Tanah Sekudung, hampir sebagian besar wilayah-wilayah baru dihuni oleh pendatang Karena memiliki wilayah adat yang sangat luas. Namun, selain adanya kebijaksanaan dan rasa persaudaraan yang kuat hal tersebut dimungkinkan karena masih kecilnya jumlah penduduk dan masih sangat luasnya lahan yang tersedia.

Peran Pemerintah Daerah

Sejak Indonesia merdeka, bahkan sejak resmi diperintah oleh Hindia Belanda, kelembagaan adat sudah tak lagi menjadi satu-satunya kekuatan politik pemerintahan dalam masyarakat. Namun, sejujurnya, khususnya dalam konteks masyarakat Kerinci, posisi kelembagaan adat jauh lebih baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda dibandingkan pemerintahan sekarang. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kelembagaan adat diberikan posisi yang sangat strategis dan diakui sebagai bagian dari pemerintahan secara formal. Hal ini terlihat dari adanya model Kemendapoan yang dipimpin oleh para Depati di masing-masing zona wilayah adat.

Berkaca dari sejarah, sudah sepatutnya pemerintah daerah melihat adat sebagai entitas penting dalam pembangunan masyarakat. Diakui atau tidak, sampai saat ini, kelembagaan adatlah yang memiliki akar dan basis kepemimpinan yang kuat dalam masyarakat. Jika mereka difasilitasi dengan baik dan dilibatkan dalam pelaksanaan program-program pemerintah, pemerintah akan sangat terbantu, setidaknya dalam mengatasi kecenderungan konflik horizontal dalam masyarakat. Terlebih, saat ini adanya kewenangan lebih yang diberikan oleh pemerintah pusat terhadap komunitas adat. Beberapa bulan yang lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat keputusan terkait pengelolaan hutan oleh komunitas adat. Salah satu daerah yang paling banyak mendapatkan SK tersebut adalah Kabupaten Kerinci.

Kesadaran untuk tidak memperalat atau menjadikan adat sebagai komoditas politik juga sangat penting untuk ditanamkan bagi semua pemangku kepentingan (stakeholders). Pelibatan adat dalam politik praktis akan berdampak buruk bagi masa depan kelembagaan adat. Wibawa mereka akan terus tergerus karena adanya pembangkangan-pembangkangan yang dilakukan oleh anak batino ketiga mereka berbeda pilihan politik dengan pemangku adat. Selain itu, politik praktis akan membuat masyarakat Kerinci semakin terkotak-kotak dan terpecah belah yang berdampak pada rentannya konflik horizontal berbasis identitas sosial.

Terakhir, masalah ekonomi atau lebih spesifik masalah lapangan pekerjaan tentu menjadi masalah yang cukup mendasar dan mendesak untuk diatasi. Masalah konflik agraria yang baru-baru ini terjadi belakangan ini tak bisa dilepaskan dari masalah ekonomi. Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka akan semakin banyak lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Sementara itu, lahan sangat terbatas dan banyak dijadikan untuk lokasi rumah penduduk. Hutan lindung tentu tak bisa disalahkan karena posisinya juga sangat vital dalam banyak hal. Dengan demikian, pemerintah daerah harus berpikir keras untuk melirik basis ekonomi selain pertanian, salah satunya adalah pariwisata. Jika tidak segera diatasi, masalah ini akan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja sebagai pemantik terjadinya konflik horizontal.

*Mahasiswa Program Magister Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia/Peneliti di Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Universitas Paramadina, Jakarta

0 komentar:

oleh : Nabhan Aiqani Mengamati berbagai persoalan yang muncul dan berkembang di lingkungan sosial masyarakat, tak ubahnya dengan mencari ...

Merawat Nalar Persatuan

oleh : Nabhan Aiqani

Mengamati berbagai persoalan yang muncul dan berkembang di lingkungan sosial masyarakat, tak ubahnya dengan mencari jarum didalam tumpukan jerami. Begitu kelit kelindan, sukar ditebak, bahkan kalau tidak sabar bisa saja menjemukan sampai pada taraf jenuh yang akut. Bagaimana tidak ? coba bayangkan saja, realitas sosial yang senantiasa dinamis, tidak memberikan waktu barang sebentar pun bagi pengamat, pengkaji maupun intelektual sosial untuk menelitinya lebih jauh. Hitung-hitung bagian dari sumbangsih kajian keilmuan terhadap nilai-nilai ideal yang harusnya berkembang di masyarakat. Sehingga terma-terma patologi sosial, amoral, dan laku penyimpangan dapat perlahan di minimalisir.

Lebih jauh kedepan, Implikasi dari berkembangnya keadaan seperti ini, mengakibatkan begitu banyak friksi dan perpecahan diantara masyarakat. Terlalu mudah hasutan dan hinaan itu terucap, tak jarang berujung pada konflik horizontal dalam eskalasi yang luas. Akibatnya umum terdengar saat sekarang ini, dikotomi antara minoritas dan mayoritas, pribumi dengan non-pribumi, serta kelompok agama dan mereka yang dilabeli sebagai kafir

Nahh,, menilik dari peliknya persoalan dalam lingkungan sosial masyarakat, penulis sampai pada hipotesis bahwasanya ada kealfaan perdebatan ideologis dan dialektis dalam masyarakat. Sebelumnya, mesti penulis perjelas dua istilah tesebut agar pemahaman kedepannya menjadi terang. Maksud dari perdebatan ideologis adalah perdebatan yang dilandasi oleh cara berpikir yang sistematis serta mampu mempengaruhi paradigma umum dalam masyarakat atau dapat dikatakan sebagai perdebatan yang sifatnya ilmiah dengan bersandarkan pada ideologi atau alur berpikir tertentu. Sedangkan perdebatan dialektis merupakan kondisi dimana antara kelompok A (tesis) berkonfrontasi dengan kelompok B (anti tesis), yang diakhiri oleh sebuah sintesis (titik tengah antara tesis dan antitesis).

Sebab, masih umum terjadi, masyarakat dihadapkan pada perdebatan yang mengemukakan emosional, krisis nalar, tidak menyentuh substansi dan cenderung common sense. Oleh karenanya, benih kebencian yang telah tertanam dalam worldview antar kelompok tidak pernah dapat disatukan. Hal ini dikarenakan terlalu terfokus pada bahasan yang tidak prinsipil sama sekali. Seperti halnya, menjelekkan sifat given atau sesuatu yang sudah demikian adanya dalam diri seseorang dan tidak bisa diubah, layaknya identitas, intelektualitas, ras, warna kulit, wajah, budaya, agama dsb. 

Oleh karenanya, dengan mengemukakan perdebatan ideologis, diharapkan akan menggelorakan gairah untuk kembali mendalami dan menggali literatur yang ada. Ruang-ruang publik diharapkan akan diisi oleh berbagai bahasan dan diskursus yang mencerahkan demi kebaikan bersama. Sehingga, pada taraf yang luas, tingkat baca masyarakat akan meningkat, sebagai implikasi dari dibangunnya kultur sosial yang senantiasa mengedepankan diskusi, literasi begitupun aksi, aktivitas yang selalu identik dengan kegiatan kepenulisan dan bacaan.

Bila direfleksikan kebelakang, tepatnya pada era pra dan pasca kemerdekaan, praksis dari perdebatan ideologis mewujud didalam diri pendiri bangsa. Artinya terma ini sebenarnya bukan lah hal yang baru, walaupun demikian, masihlah sangat relevan untuk dikemukakan kembali pada kondisi kontempore. Lihat saja polemik antara Ir. Soekarno (nasionalis) dengan M. Natsir (islamis) perihal dasar negara yang terekam dalam Panji Islam. Tulisan dari Soekarno saling berbalas dengan M. Natsir, sehingga menambah geliat diskursus keilmuan. Begitulah apabila pertentangan dapat disintesiskan, bukan melulu beradu otot atau emosional, namun mengemukakan intelektualitas dan ideologis. 

Bahkan ketika Agus Salim dalam suatu forum menanggapi santai ejekan dari Musso. Beliau tidak terlihat emosional, bahkan dengan cerdas, beliau membalikkan ejekkan itu. Ceritanya begini, pada waktu itu, Musso mengejek Agus Salim, dengan menyebut, saudara-saudara, hewan apakah yang pakai jenggot?, lalu dijawab serempak oleh hadirin, kambing. Sadar ia sebagai sasaran dari ejekkan Musso, Agus Salim pun dengan santai membalikkan keadaan, beliau berujar kalau yang berjenggot adalah kambing, lantas hewan apakah yang tidak berjenggot ?” “Anjing, jawab hadirin bersamaan. Namun perdebatan itu, ya, cukup sampai di forum saja, tidak gontok-gontokkan setelah di luar.

Lain halnya dengan cerita Gus Dur seperti yang dikisahkan dalam nu.or.id tentang tamu yang mengaku bernama Husein tersebut kemudian menjawab bahwa dia mencari ayahnya. Tamu tersebut menurut Gus Dur seperti orang Indonesia lainnya, yaitu juga pakai peci. Kemudian Gus Dur yang masih anak-anak, itu memberitahukan kepada ayahnya yang sedang di dalam bahwa beliau dicari Pak Husein.

Begitu mendengar nama Husein, kata Gus Dur, ayahnya langsung bangun dan menemui tamunya sambil berpelukan mesra. Dan selanjutnya memerintahkan Gus Dur yang waktu itu masih berumur sekitar 4-5 tahun agar meminta ibunya menata hidangan.

Baru belakangan setelah Gus Dur berumur 50 tahun lebih, ibunya mengatakan kepadanya, "Kamu tahu siapa itu pak Husain, yang datang pada malam-malam dahulu, itu Tan Malaka".

Dari pengalaman di atas, menurut Gus Dur, memberikan bekas yang sangat dalam kepada dirinya. Hal itu menambah kuatnya keyakinannya bahwa sudah dari dulu pun nenek moyang kita (bangsa indonesia) sudah demikian saling menghargai.

Gus dur mengajukan alasan, bagaimana tidak saling menghargai. "Banyangkan, Tan Malaka, anggota komintern yang dianggap tidak bertuhan itu datang berpeluk-pelukan dengan seorang kiai. Inilah Indonesia," ungkap Gus Dur dengan nada serius.

Oleh karenanya, dengan melihat interaksi antara pendiri bangsa dahulunya. Dapat dilihat perdebatan idelogis serta dialektis yang terjalin antar mereka. Walaupun, berada pada ideologi berseberangan dan bertentangan disegala sisi, namun itu bukan alasan untuk saling menjelekkan dan menjatuhkan. Semua melebur dan menyatu tanpa memutuskan hubungan silaturahmi. Sebab, kearifan ilmu dan keteguhan hati yang kuat ditunjang oleh pengetahuan yang luas, mereka mampu menanggalkan segala atribut diri yang cenderung memecah, ego, kepentingan pribadi maupun kelompok ditekan, untuk sepenuhnya mewujud menjadi Manusia.

0 komentar:

oleh: Yudriza Sholihin Indonesia adalah negara agraris dan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Pada dasarnya bany...

Pemberantasan Korupsi Dalam Narasi Sosiologi

oleh: Yudriza Sholihin

Indonesia adalah negara agraris dan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Pada dasarnya banyak hasil bumi yang dapat digunakan untuk memajukan dan membuat Indonesia menjadi negara yang superior dan mandiri. Keadaan yang  belum tentu di miliki oleh negara lain. cukup membanggakan bukan?
Walaupun demikian, ada hal dimana justru sangat disayangkan. Kendati bangsa Indonesia sangat kaya akan hasil buminya, namun sebagian besar rakyatnya justru hidup dalam kemiskinan dan jauh dari taraf kesejahteraan. Masih banyak rakyat Indonesia yang putus sekolah, pengangguran, dan tidak mendapat pengobatan, serta tidak memiliki tempat tinggal yang tidak layak. Negara yang kaya hasil buminya, justru menjadi negara yang tertinggal dari negara-negara tetangga. Kondisi ini akan terus terjadi jika Indonesia masih terus mengimpor bahan pangan dari mereka.
Menyedihkan dan miris memang mendengarnya. Namun ini seakan jadi fenomena yang sudah tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Jadi, wajar jika ada pertanyaan apa yang terjadi sebenarnya? Banyak faktor yang dapat menyebabkan rakyat menjadi sengsara di tengah kekayaan alam Indonesia. salah satunya adalah pengelolaan negara yang masih keliru atau bahkan salah. Contoh kesalahan yang terjadi di dalam pengelolaan negara adalah adanya korupsi yang ada hampir di setiap bidang.
Sudah tidak perlu ditegaskan lagi, korupsi adalah masalah utama bangsa kita. Tentu saja masih banyak masalah bangsa yang lain. Tetapi korupsi adalah akar masalahnya. Kemerdekaan kita dirampas oleh koruptor. Negara ini telah merdeka, namun efek pembangunan belum dirasakan oleh banyak warga bangsa, karena korupsi yang marajalela. Pendidikan dikorupsi. Kesehatan dikorupsi, dana ibadah haji dikorupsi. Pengadaan pangan dikorupsi. Tidak ada satu bidang punyang luput dari penyakit korupsi.
Korupsi sebagai musuh besar bangsa seolah kian sulit diberantas. Meski sudah lama dinyatakan sebagai extra ordinary crime dan harus diberantas melalui cara extra ordinary pulaberita tentang pejabat yang terjerat korupsi mewarnai media setiap hari. Kondisi itu memberikan kesimpulan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa diharapkan hanya pada aparat penegak hukum, kejaksaan, maupun pengadilan. Diperlukan satu institusi khusus pemberantasan korupsi yang kokoh serta gerakan sosial untuk memerangi kejahatan yang memiliki daya rusak tinggi ini.
Dalam sejarahnya, perang melawan korupsi di Indonesia sering berhenti karena political will yang tidak cukup panjang. Korupsi itu sendiri sejarahnya sudah mulai mengejala pada era sebelum kemerdekaan, ketika negara Indonesia belum memiliki nama, masih sebagai kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Masing-masing orde di Indonesia, sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi memilki jejak sejarahnya masing-masing dalam memberantas korupsi. Namun demikian, berbagai macam upaya, yang juga dikupas secara lebih detail dalam kajian ini, tak berdaya untuk mengurangi praktek korupsi. Hal ini diakibatkan oleh sentiment rezim penguasa, dengan berbagai macam pengaruh dari jaringan, orang-orang terdekat yang ada disekelilingnya, maupun para pebisnis yang tak menyukai langkah-langkah progresif melawan korupsi, untuk menghentikan dan mendelegitimasinya.
Dari Berbagai macam inisiatif negara melawan korupsi yang telah atau pernah dilakukan pada Orde lama, seperti PARAN (Panitia Retolling Aparatur Negara), Operasi Budhi dan Kotrar (Komando Tertinggi Retolling Aparat Revolusi) berhenti karena faktor prestise presiden yang tidak boleh diganggu. Berlanjut ke Orde Baru, berbagai macam usaha juga telah diambil, seperti pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi) yang diketuai Jaksa Agung dan Operasi Tertib (Opstib) yang cepat menguap tanpa banyak hasilnya karena tak dapat menyentuh korupsi pada level elit. Ketidakmampuan politik adalah penggajalnya.
Pun pada Era Reformasi, terutama pada generasi awal, Indonesia kembali menabuh genderang perang melawan korupsi, dimulai dengan pembentukan KPKN, KPPU dan lembaga Ombudsman, dilanjutkan dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada era Gus Dur. Pada akhirnya, KPKPN berganti menjadi KPK, dan TGPTPK dibubarkan oleh MA melalui sebuah putusan judicial review.
Barangkali, nafas yang cukup panjang ada di KPK. Usia lembaga ini sudah mencapai 14 tahun, sebuah capaian yang paling baik diantara organisasi atau lembaga pemberantas korupsi yang pernah dibentuk sebelumnya. Dari sisi kelembagapun KPK  dipandang lebih baik dari pada yang lahir sebelumnya. Barangkali karena KPK dibentuk dalam situasi sejarah yang berbeda, dimana atmosfer reformasi ikut mempengaruhi cara pandang pemerintah dalam mendesain kelembagaan KPK, meskipun pada akhirnya, KPK dipandang sebagai ancaman serius bagi. Hal itu dibuktikan kemudian dengan berbagai upaya untuk melawan balik KPK, seperti melalui  Judicial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah dilakukan beberapa kali oleh pihak yang berbeda, melalui pelemahan internal KPK dalam bentuk kriminalisasi Komisioner KPK yang terjadi secara periodik, maupun melalui mekanisme legislasi, yakni revisi UU KPK. Dari semua usulan revisi atas UU KPK, tidak ada satupun yang mengarah pada penguatan kelembagaan KPK.
Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Diantaranya adalah adanya kesempatan, tidak sesuai reward yang diberikan dalam bekerja, dan penegakkan hukum Indonesia tidak begitu tajam dalam memberantas korupsi. George C Homants seorang sosiolog berkebangsaan Amerika Serikat memperkenalkan sebuah teori untuk mengungkapkan perilaku manusia atau realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dia memperkenalkan Teori Pertukaran Sosial (Sosial exchange theory). Dalam teori ini ia mengungkapkan bahwa “Perilaku individu disebabkan sesuatu yang berada diluar individu”. Sesuatu yang berada diluar individu tersebut adalah ganjaran (reward) dan hukuman (punishment).
Reward dan punishment itu dapat dalam bentuk material (Benda, uang, barang, dan lain-lain) maupun non material (Senyuman, pujian, pelukan, dan lain-lain). Tindakan sosial dilihat equivalen dengan tindakan ekonomis. Suatu tindakan adalah rasional, berdasarkan perhitungan untung-rugi. Dalam aktor sosial, aktor mempertimbangkan juga keuntungan yang lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio). Perilaku individu dipahami sebagai respon individu terhadap adanya ganjaran dan hukuman. Makin tinggi ganjaran yang diperoleh, makin besar kemungkinan tingkah tertentu diulang. Dan makin tinggi ancaman yang akan diperoleh makin kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan diulang.
Mengapa marak terjadi korupsi? Karena para koruptor mendapatkan Reward yang lebih besar dibandingkan Punishment. Reward dalam hal ini uang. Sedangkan punishment sanksi yang berupa kurungan penjara. Contohnya seorang koruptor melakukan korupsi sebesar 10 miliar (Reward). Sedangkan ia mendapatkan kurungan penjara selama 1 tahun (Punishment).  Hanya satu solusi untuk memberantas korupsi di Indonesia. Dimana korupsi hanya bisa diberantas oleh pemerintah. Hukuman yang diberikan harus berat dan memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi. (***)

0 komentar: