Sumber: https://www.religionworld.in
Oleh: Nabhan Aiqani
(Penggiat Literasi di Kerinci Institute)
Dalam
dunia yang serba dinamis, adalah sebuah silogisme dengan premis-premis mayor
yang berujung pada konklusi bahwa Ilmu adalah jalan bagi seseorang untuk bisa
mengelaborasi segala hal yang berkaitan dengan realitas dunia serta yang ada
pada dirinya sendiri. Plato menyebutnya sebagai episteme, yaitu pengetahuan tunggal yang tetap sesuai dengan ide-ide
abadi. Menjadi hal yang umum dimana konsep ilmu dan pengetahuan barat di
jadikan rujukan filosofis keilmuan yang ada sekarang ini.
Sehingga,
harus diakui bersama literatur akademik kontemporer merupakan dominasi dari
pemikiran dan worldview filsuf-filsuf
barat. Ranah pengetahuan dan akademik tak satu pun luput dari pengaruh pemikir
barat.
Namun,
problema muncul, ketika keilmuan dalam tradisi filsafat barat dimulai dengan
landasan rasio (rasionalis) dan
penginderaan (positivis). Plato
menyebutnya sebagai realitas ganda. Bila mana pengetahuan akan dunia di tilik
dari dua aspek ini, tentu akan mejerumuskan filosof pada cara berpikir yang
sempit (narrow thinking). Kebenaran
hanya akan dapat dicapai apabila objeknya dapat diuji melalui metode observasi ilmiah, empiris, rasional dan
positivis. Mereka menyangkal segala bentuk eksistensi
wahyu (revelation). Wahyu
bukanlah suatu hal yang ilmiah dan irasional. Dengan begini, alam pikir (realm of thinking) keilmuan barat
diarahkan pada penyangkalan terhadapeksistensi
Tuhan.
Sekularisasi
ilmu adalah kenyataan yang harus diterima, disaat keilmuan digiring untuk
menolak kebenaran wahyu. Ini dapat terlihat dimana pada saat ini agama
(kristen)-karena merujuk pada filsafat barat dan Kristen adalah agama dominan-hanya
mendapatkan posisi pinggiran sampai saat ini, berbeda halnya ketika zaman
pertengahan (medieval times), ketika
agama (kristen) menjadi sentral peradaban barat. Hal ini untuk menunjukkan
secara tegas perspektif positivis dalam memandang bahwa ilmu haruslah free value (bebas nilai). Atau dengan
kata lain, semua embel-embel agama, budaya, etnis, rasial, haruslah ditanggalkan
oleh para filosof. Ranah keilmuan merupakan doktrinisasi yang melihat bahwa
kebenaran adalah suatu hal yang relatif, tidak ada satupun kebenaran yang
absolut diatas dunia.
Segaris
dengan pernyataan Hegel, bahwa pengetahuan adalah ongoing process, dimana apa yang diketahui akan terus berkembang.
Tahapan atau teori yang telah dicapai, akan dapat “disangkal” oleh satu tahapan
baru. Kedua tahapan yang saling bertentangan ini, kemudian akan menghasilkan sintesa baru, yang nantinya juga akan dapat dinegasikan oleh tahapan baru lagi. Ia
menyebutnya sebagai dialektika. Tak
heran bila muncul diktum “manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun
dimanusiakan (man is deified and deity
humanised)
Keistimewaan Filsafat Islam
Syed
Naquib al Attas mengakui peradaban barat modern menghasilkan banyak ilmu yang
bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam
kehidupan manusia. Penolakan terhadap wahyu dan kepercayaan agama mengarahkan
keilmuan itu sendiri kepada sekularisasi ilmu. Pada akhirnya Peradaban Barat
modern membuat ilmu menjadi problematis.
Berbeda
dengan tradisi filsafat barat, sejatinya, Ilmu merupakan produk dari pandangan
alam (worldview) suatu bangsa, agama,
budaya atau peradaban, dimana terkandung nilai-nilai moral (moral values) dan keyakinan akan
kebenaran suatu masyarakat, sehingga ilmu menjadi tidak bebas nilai (free value). Hamid Zarkasy menyebutnya
sebagai “pandangan alam secara islami” atau Islamic
Worldview.
Oleh
karenanya, kekhasan filsafat islam dalam menjelaskan keilmuan yang ada membuat
ilmu pengetahuan mencapai tahapan tertinggi dalam sejarah, bahkan tradisi
filsafat yunani kuno tidak mampu untuk mencapainya. Oliver Leaman dalam bukunya
History of Islamic philosphy menyebut
filsafat islam itu sangat filosofis dalam arti logis-analitis, terus hidup dan
penuh gejolak, tidak sekadar melanjutkan tradisi sebelumnya, tetapi juga
meperlihatkan terobosan terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan
klasik maupun modern.
Meskipun
begitu, banyak dari pemikir barat beranggapan bahwa filsafat islam tidak
memiliki landasan. Filsafat islam dinilai hanya melanjutkan pemikiran
filosof-filosof Yunani dan tradisi keilmuan dari doktrin Yahudi-Nasrani. Dalam
khazanah filsafat dunia muncul semacam “sesat pikir” bahwa filsafat islam
hanyalah “jembatan peradaban” dari zaman kegelapan ke zaman pencerahan. Tidak
ada tempat istimewa bagi Filsafat Islam dalam pandangan filosof barat yang anti
dan cenderung mengarah kepada rasisme intelektual dengan memojokkan posisi dari
filsafat islam, yang menurut Oliver Leaman, sangat luas dan kaya.
Untuk
menjawab kontroversi dan kritikan skeptis dari pemikir barat. Tentunya, harus
dikedepankan dalil-dalil dan bukti sahih kekayaan
intelektual pemikir Islam. Mengenai dalil, Al-qur’an telah menyuratkan dan
menyiratkan dengan sangat jelas perihal anjuran bagi kaum musli untuk menuntut
ilmu. Wahyu Allah yang pertama pun secara gamblang dapat diartikan sebagai
perintah agar kaum muslim untuk membaca, jalan
utama untuk mencapai pengetahuan dan keilmuan. Terbukti dengan penyebutan “al-ilm” atau ilmu yang sebanyak 823
kali. Dapat disimpulkan, landasan fundamental dari tradisi keilmuan islam, tak
lain adalah Al-qur’an dan Hadits (Dr. Adian Husaini, 2013)
Bahkan
disaat bangsa Eropa tengah berada dalam era dark
age, Imuwan Islam justru dengan gilang gemilangnya berhasil menemukan
banyak penemuan baru dalam sejarah manusia. Nama-nama seperti Al-khawarizmi,
Ibnu Sina, al-Biruni, Ibnu Haitsam (Alhazen) yang berjasa dalam sains dan
teknologi, serta Ibnu Khaldun, Al-Farabi, Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai
ilmuwan sosial, selain itu ada al-Kindi, ibnu-Rusyd, Al-arabi, tokoh-tokoh
peletak dasar-dasar filsafat Islam. Al-Ghazali yang secara tegas menolak segala
bentuk tradisi filsafat, juga menambah kompleksnya keilmuan filsafat islam.
Keberhasilan
renaissance bangsa Eropa tidak bisa
dilepaskan dari sumbangsih pemikir-pemikir islam yang waktu itu bermukim di
Andalusia (Spanyol)
Kembali pada Islam
Selaku
muslim dan negara dengan jumlah muslim terbesar, sudah sewajarnya kita kembali
kepada tujuan dan pedoman hidup, Al-qur’an dan Hadits. Kekayaan intelektual
muslim yang ditunjukkan dengan berbagai pemikiran dan penemuan para pemikir dan
ulama Islam kenamaan zaman dahulu, harusnya membuat kita bangga dan kembali
pada Islam sebagai tuntunan hidup.
Islam
bukan hanya agama, namun way of life atau
pegangan dalam memandang dunia (islamic
worldview). Tradisi keilmuan atau filsafat islam tidak lain berlandaskan
atas keimanan kepada Allah Swt. selaku pencipta dan tidak ada yang kita ketahui
kecuali atas izin dari-Nya. Dengan semakin tingginya ilmu seseorang, ketakwaan
dan ketaatan kepada Allah akan semakin meningkat pula. Sebab, ilmu yang kita
miliki tidak ada apa-apanya dibanding Ilmu Allah.
Islam
tidak pernah melarang untuk berpikir secara rasional dan empiris, selagi itu
tidak menyalahi aqidah. Karena pada dasarnya, kewajiban menuntut ilmu adalah
wajib bagi setiap muslim, dengan tujuan tak lain hanya semata mengharapkan
ridho dari Allah Swt.
Terakhir,
manusia harus sedapat mungkin menghidarkan diri terjebak pada fatamorgana
keilmuan yang kering dan gersang. Penghambaan secara berlebihan pada rasio dan
penginderaan manusia yang sangat terbatas untuk menggapai kebenaran, justru
akan mengarahkan manusia pada lorong kehidupan tanpa makna. Ilmu yang
didapatkan tidak memiliki pengaruh terhadap zahir
dan bathin. Hingga akhirnya,
tidak ada yang didapat selain terjeremus pada keinginan untuk memenuhi hasrat
nafsu duniawi belaka.
1 komentar: